Bisnis itu tidak akan selalu berjalan sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Cerita ini bermula dari tahun 2019....Begitu pak Mardi mulai membuka percakapan kami siang tadi.
Pada tahun-tahun tersebut, perusahaan beliau dipercaya untuk mensupply sekitar 26 item part untuk engine motor Kawasaki. Dengan kebutuhan produksi per bulan mencapai puluhan ribu pieces dan memiliki omset lebih dari 800 juta lebih setiap bulan. Hal ini tentunya sudah merupakan pencapaian yang luar biasa. Kala itu beliau memiliki karyawan sekitar 70 orang, yang terbagi dalam 2 shift kerja untuk bisa memenuhi target pengiriman dari customernya. Semuanya masih on track dan baik-baik saja, sebelum ada Serikat Pekerja yang (katanya) mengakomodir aspirasi pekerja.
Kala Semua Masih Baik-Baik Saja |
Dirintis dari tahun 1998 dan berhasil melewati masa-masa sulit saat mengawali bisnisnya dari perusahaan kecil dengan 2 mesin produksi, secara perlahan perusahaan pak Mardi ini sedikit demi sedikit bisa mengembangkan perusahaannya sehingga bisa menjadi supplier terpercaya untuk perusahaan otomotif terutama Roda 2. Ditambah lagi saat itu beliau bergabung menjadi anggota binaan Yayasan Dana Bakti Astra (YDBA, cerita tentang YDBA bisa dibaca di artikel Rantai Tak Putus ) yang membuat beliau lebih bisa dipercaya menjadi supplier part Astra Honda Motor (walaupun cuma second tier).
Dalam sebuah bisnis, apapun bisnisnya, perjalanannya tidak akan selalu berjalan mulus. Sampai tahun 2018, perputaran modal kerja tidak sepenuhnya bisa berjalan dengan semestinya. Pada sebuah bisnis industri, apalagi yang bergerak memproduksi part mass production, uang modal kerja yang harus disiapkan atau diendapkan membutuhkan minimal 3x dari keseluruhan biaya perusahaan.
Umumnya perhitungan biaya operasional perusahaan akan terdiri dari komponen gaji tenaga kerja (baik langsung ataupun tak langsung, ongkos belanja material, cost produksi (perhitungan ongkos pengerjaan) dan biaya tidak tetap (seperti depresiasi mesin dll) yang biasa disebut biaya overhead. Untuk gambaran perhitungan biaya operasional ini, bisa dibaca di artikel 'Tentang Biaya Produksi'., kurang lebih akan seperti itu perhitungannya.
Nah, ketika tuntutan Biaya Tenaga Kerja semakin naik dari tahun ke tahun tanpa diikuti revisi dan penambahan pada harga jual part secara keseluruhan, maka semakin lama profit akan semakin mengecil. Apalagi ditambah beban overhead, seperti listrik, solar dan biaya tool produksi juga meningkat, kemudian biaya material juga semakin tak bisa diprediksi (kalau sudah naik biasanya susah turun) ya sudah....walaupun kuota produksi ditingkatkan lama-lama akan berimbas pada berkurangnya modal usaha yang sudah disiapkan. Untuk mensiasati ini, biasanya beberapa perusahaan mulai menerapkan apa yang disebut cost down, dengan cara merampingkan lini produksi, mengurangi cost yang tidak perlu dan mengefisiensikan cycle time kerja mesin-mesinnya serta kerja operatornya.
2019 Awal Yang Tidak Berakhir Indah Dengan Serikat Pekerja
Pada tahun 2019, munculah masalah keuangan, imbas dari mundurnya pembayaran customer, yang membuat perusahaan pak Mardi 'agak sedikit terlambat' dalam membayarkan THR karyawannya. Apalagi pas di tahun tersebut Hari Raya Lebaran jatuhnya di awal Juni 2019 yang kemudian dituntut juga sekaligus harus membayar gaji bulan Mei, jadi ada pengeluaran 2x pembayaran upah (THR 2019 dan gaji bulan Mei 2019). Sedangkan pas Lebaran kan seperti perusahaan pada umumnya yang dituntut juga memberikan Libur Hari Raya selama hampir 2 minggu, yang artinya pada bulan Mei - Juni 2019, perusahaan hanya operasional efektif selama 2 minggu. Barang produksi belum sepenuhnya menutup permintaan PO (Purchase Order) customer yang tentunya belum bisa dikirim, sementara tagihan invoice masih di status outstanding. Ini membuat perusahaan yang kala itu hanya memiliki cadangan keuangan untuk membayar 1x gaji menjadi dilema. Antara pilihannya gaji dulu dibayarkan atau THR dulu yang diberikan.
Entah Bagaimana Nasib Para Pemegang Spanduk Ini Sekarang... |
Perusahaan sudah mencoba melakukan pembicaraan secara bipartit dengan perwakilan karyawan (Serikat Buruh), tapi ya itu tadi....mereka tidak mau tahu (atau diprovokatori untuk tidak mau tahu) dengan kondisi keuangan perusahaan yang demikian. Bukan perusahaan yang mangkir dan tidak mau memberikan hak karyawan, perusahaan hanya meminta penundaan pembayaran sampai keuangan untuk membayar hak karyawan tersebut terpenuhi, setelah outstanding tagihan customer dibayar. Tapi pihak Serikat Pekerja bertahan dengan keinginnya, sementara perusahaan juga harus memikirkan biaya operasional selanjutnya sebelum ada pembayaran dari customer. Untuk versi dari cerita Serikat Buruh bisa dibaca di link ini. Hingga akhirnya seperti cerita serikat buruh dan 'perjuangannya', terjadilah mogok kerja yang dilakukan oleh sekitar 40 orang karyawan (dari 70 karyawan) ditambah personil Serikat Pekerja lengkap dengan TOA dan MoKom (Mobil Komandonya).
Sialnya, mogok kerja ini terjadi disaat pada waktu yang bersamaan, pak Mardi sedang berjuang untuk meng-gol-kan kontrak kerja bernilai 400 juta lebih perbulan. Auditor dari calon customer terjebak blokade rombongan pendemo yang berujung pada laporan situasi yang tidak kondusif tersebut ke kantornya. Akhirnya kontrak kerja gagal didapatkan, omset yang sudah di depan mata melayang, sementara tuntutan karyawan (yang dibacking pendemo Serikat Pekerja) menuntut ada tambahan denda dari keterlambatan pembayaran THR dan gaji.
Ya sudah, daripada masalah berlanjut sampai ke Pengadilan yang tentunya memakan waktu yang lama (umumnya bisa 1 tahun atau lebih baru ada keputusan dari Pengadilan Negeri di Bandung) dan biaya yang tidak sedikit, manajemen perusahaan yang difasilitasi pihak Disnaker akhirnya memberikan opsi antara putus atau terus. Kaya judul lagu ya...he..he..he
Apapun keputusan yang dipilih oleh Serikat Pekerja pada waktu itu ya ujung-ujungnya akan berbicara uang dan beban cost tambahan bagi perusahaan (karena Serikat Pekerja menuntut adanya tambahan Denda kompensasi keterlambatan pembayaran). Dalam hal ini, sayangnya karyawan yang ikut tergabung jadi anggota Serikat Pekerja mengikuti masukan Serikat. Mereka memilih putus dengan diberikan uang kompensasi yang sudah disepakati. Maklum para karyawan ini sebenarnya sudah ikut pak Mardi selama ada yang 17 tahun, ada yang sudah 20 tahun, ada juga yang baru 10 tahunan bergabung. Mungkin mereka tergiur dengan besarnya pesangon yang sekian kali PMTK (baca: Peraturan Menteri Tenaga Kerja). Padahal mereka ini dulu pas mulai bergabung di perusahaan dari pengangguran yang gak punya pekerjaan, dikasih pekerjaan, diberi kesempatan untuk mencapai penghidupan yang layak, tapi ya namanya manusia ya...tidak pernah ada rasa puasnya
Pak Mardi bercerita, untuk biaya uang kompensasi pemutusan kerja tersebut beliau harus menyiapkan dana sekitar 2 Milyar yang dibagi untuk 40 karyawan yang memilih putus. Dan karena faktanya perusahaan saat itu memang benar-benar sedang kesulitan keuangan, maka untuk bisa menyiapkan dana sebanyak itu kemudian pak Mardi memutuskan untuk menggadaikan aset perusahaan ke bank, ya cari pinjaman bank-lah intinya.
Dihantam Pandemi 2020 - 2021
Memasuki tahun 2020, pak Mardi mulai berbenah lini produksi-nya karena imbas keruwetan dengan Serikat Pekerja tahun sebelumnya, efektif hanya tersisa sekitar 30 orang karyawan, dan banyaknya pekerjaan outstanding pengiriman yang harus dikejar. Untuk memenuhi tuntutan outstanding pengiriman, pak Mardi saat itu memutuskan untuk memakai jasa tenaga kerja freelance, sambil menata strategi untuk produksi selanjutnya.
Maret 2020, seluruh dunia tiba-tiba stop (atau baru sekedar berjalan lebih lambat) aktivitasnya. Pandemi Covid-19 menghantam semua lini, dari industri, ekonomi, pendidikan dan tentunya kesehatan. Pemerintah menetapkan status Social Distance untuk mengahdapi Pandemi Covid-19. Secara rangkuman yang terjadi saat dunia memasuki Pandemi ini, saya menuliskannya di artikel '2020 The Year of Whatever'. Kita semua mendadak SAMA, sama-sama ketakutan akan kematian, sama-sama mengenakan dresscoat (bermasker) yang sama, sama-sama kesulitan atau mungkin malah kehilangan penghasilan.
Industri melambat, bahkan banyak yang tidak mampu bertahan lalu harus stop produksi. Begitupun sektor industri otomotif, penjualan unit kendaraan hampir mencapai titik 0, pabrik-pabrik otomotif mulai 'mengistirahatkan' karyawannya untuk Stay at Home saja. Jika dari induk-nya saja mengalami kesusahan menentukan strategi untuk bertahan di masa pandemi, bagaimana dengan industri UKM dibawahnya...
Kondisi ini tentunya membuat UKM-UKM suplier part dan penunjang industri otomotif besar mulai berguguran satu persatu. Tidak ada PO (Purchase Order) yang diterima, tidak ada permintaan pembuatan dan suply barang. produksi stop, karyawan menggangur karena gak ada yang dikerjakan, perusahaan tidak ada uang masuk, sementara kewajiban pembayaran baik hak karyawan ataupun cicilan bank tetap harus berjalan. Inilah yang dialami perusahaan pak Mardi kala itu.
Box-Box Ini Menjadi Saksi Bisu Masa Kesibukannya....Dulu |
Memasuki tahun 2022....
Kata beliau "Saya ini kan sebetulnya sudah memasuki usia pensiun, dimana saya semestinya sudah bisa istirahat dan menarik diri dari dunia industri. Untuk bangkit kembali....saya kira cukup sulit, karena saya untuk merintis semua ini butuh waktu 20 tahun hingga bisa mencapai apa yang saya miliki saat ini".
"Saya sudah mulai menyerahkan segala urusan perusahaan pada anak saya. Secara operasional, perusahaan saat ini bisa dibilang vakum dan belum berani terima order yang membutuhkan modal untuk beli material dan lain-lain" lanjutnya. "Saya berpikir, kalau memang ada yang berminat membeli semua aset perusahaan (tanah, bangunan dan mesin-mesinnya) atau hanya parsial tanah dan bangunannya saja, saya lepaskan semua aset ini. Yang penting saya masih bisa mengembalikan pinjaman bank dan punya sedikit lebihan dana untuk bisa membeli tempat yang kecil saja, untuk anak saya bisa memulai lagi dari usaha machining kecil-kecilan."
Mesin Produksi dan Area Produksi Yang Tetap Bersih Menunggu Order |
"Atau kalaupun ada yang mau menjadi investor, tentunya yang paham dengan dengan dunia industri ya...karena sebagai investor industri ya tidak bisa berharap modal yang ditanamkan akan bisa kembali dengan cepat. Setidaknya butuh waktu 2 atau 3 tahun sampai modal bisa BEP dan bisa menikmati buahnya."
Area Tetap Dipelihara Kebersihannya Dengan Harapan Baru Yang Kembali Indah |
"Jadi kalau ditanya bagaimana dan seperti apa kedepannya, segalanya masih abu-abu...semoga saja ada Investor yang mau menanamkan 'uang tidurnya' sehingga saya bisa kembali bergerak....kalau memang ada yang punya uang dan mau investasi, saya akan berikan 85% saham perusahaan. Biar nanti entah saya jadi karyawan disini atau ya saya dirumah menjalani masa pensiun dengan apa adanya...dengan apa yang tersisa yang saya miliki" kata beliau di akhir pertemuan kami.
Kalau ada yang baca tulisan saya ini dan berminat membantu pak Mardi seperti yang beliau rencanakan, bisa kontak saya...DM...PM...lewat WA yang ada di kontak web ini atau tulis kontak di kolom komentar...boleh. Nanti saya hubungkan langsung dengan pak Mardi.
Jadi orang baik itu hidup dan peruntungannya belum tentu baik-baik saja....ternyata
0 Comments