Artikel ini saya tulis dengan maksud agar kita, manusia-manusia yang mengaku paling beragama, bisa mau membuka pikiran, meninggalkan kacamata kuda dan mulai mencoba mengenal sedikit tentang Hindu Bali. Karena bagaimanapun juga sebagai saudara satu bangsa yang mengaku Indonesia, yang berbeda-beda tetapi (katanya) tetap satu, Bali adalah bagian dari Indonesia dengan sejarah panjangnya.
Sekilas Hindu Bali Awal...

Agama Hindu Bali, yang disebut pula Agama Hindu Dharma atau Agama Tirtha (Agama Air Suci) adalah Agama (Kepercayaan) yang merupakan inkulturasi (sinkretisme, penggabungan) dari kepercayaan Hindu aliran Saiwa, Waisnawa  dan Brahma dengan kepercayaan asli suku Bali (sebelum masuknya Majapahit ke Pulau Bali). Dulu, di masa Shri Kesari Warmadewa (berasal dari Sriwijaya dan termasuk Wangsa Syailendra, pendiri Kerajaan Bedahulu) tidak hanya kepercayaan Tirtha yang berkembang. Ada banyak sekte aliran seperti Ciwa-Sidhantta, Pacupata, Bodha, Bhhairawa, Brahmana, Wesnawa, Rsi, Sora, Ganeca yang bukti sejarahnya masih bisa terbaca jelas di situs Cagar Budaya yang berupa pura di sepanjang Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu yang mengapit Tampaksiring. Kala itu semua aliran berdiri dengan benderanya masing-masing sehingga sering terjadi pergolakan yang berujung pada perpecahan. Untuk meredam pergolakan tersebut akhirnya diadakan paruman yang disebut Bata Anyar, yang dilakukan di Pura Samuan Tiga dan dipimpin Empu Kuturan.
Empu Kuturan sendiri datang ke Bali (diperkirakan) pada abad X saat pemerintahan Bali di pimpin Anak Wungsu, adik Raja Airlangga (Airlangga adalah pendiri dan Raja Kerajaan Kahuripan, di Jawa Timur). Lebih lanjut tentang Empu Kuturan nanti saya ceritakan di artikel selanjutnya tentang 'Goa Lawah'. Singkatnya, Empu Kuturan inilah yang mencetuskan tentang konsep Tri Murti yang menjadi tonggak awal lahirnya tatanan keagaamaan dan berkehidupan di Pulau Bali. Empu Kuturan membawa perubahan besar dengan mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau parahyangan. Dan Sang Hyang Widhi (Acintya atau Sang Hyang Tunggal) inilah yang kemudian diimani pemeluk Hindu Bali (Agama Tirtha) sebagai entitas yang esa. Pada agama Hindu umumnya dikenal dengan nama Brahman Atman Aikyam, yang artinya brahman dan atman adalah satu, tunggal. Dengan demikian kan artinya orang Hindu Bali ini bahwa Tuhan itu satu, Esa, walaupun disebut dengan Sang Hyang Widhi.
Mengapa Hindu (Bali) Bisa Bertahan Jadi Kepercayaan Mayoritas di Bali ?
Secara Historis (bisa dibuktikan dari berbagai prasasti di Bali), penyebaran dan masuknya agama Hindu ke Pulau Bali diawali dengan datangnya Empu Kuturan, yang meletakkan pondasi awal kepercayaan Hindu Bali. Hindu Bali menjadi semakin berkembang dengan adanya ekspansi Kerajaan Majapahit oleh Patih Gajahmada (dengan Sumpah Palapanya yang famous itu...). Pada ekspansi itu Kerajaan Majapahit berhasil mengalahkan Kerajaan Bedahulu dan berdirilah Kerajaan Gelgel yang terafiliasi dengan Majapahit.
Ketika Islam mulai masuk di Jawa ditandai dengan berdirinya Kesultanan Demak dan Kerajaan Majapahit yang mulai memudar dan terdesak sampai di Blambangan, pengaruh dan penyebaran Islam belum bisa menembus masuk sampai ke Pulau Bali. Diwarnai dengan segala intrik dan perebutan kekuasaan Kesultanan Demak berakhir dan kemudian berdirilah Kerajaan Mataram Islam dibawah Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya). Kerajaan Mataram Islam sendiri dengan berbagai intrik-nya tidak cukup mampu untuk melawan dan mengalahkan Kerajaan Gelgel (yang setelah keruntuhan Majapahit Gelgel menjadi Kerajaan 'merdeka'). Bahkan Kerajaan Gelgel pada waktu itu mencapai masa kejayaannya di bawah pemerintahan Dalem Waturenggong. Kerajaan Gelgel pada masa itu bisa memperluas wilayah kekuasaan sampai di sebagian Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa.
Belanda semakin tak terbendung dalam menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Ambisi Belanda untuk mewujudkan Pax Netherlandica (perdamaian di bawah Belanda) di Nusantara, membuat Belanda mulai melancarkan ekspedisi militernya lewat KNIL-nya ke Kerajaan Buleleng pada tahun 1846.
![]() |
Ekspedisi Batalyon KNIL ke Bali - dok. Wikipedia |
Belanda berperang di Bali selama 62 tahun sampai Kerajaan Klungkung dikalahkan dalam Puputan Klungkung tahun 1908. Kolonialis Belanda dengan mantap menancapkan kuku kekuasaannya di seluruh Pulau Bali.
Perjuangan Pengakuan Hindu Bali Sebagai Agama dan Adat
Pada tahun 1927, R. Taghore seorang peraih Nobel di bidang Sastra dari India melakukan perjalanan ke dareah Jawa dan Bali. Kala itu Taghore mencatat bahwa kebudayaan Bali dilihat sebagai kelanjutan jaman Purana (bahasa Sanskerta, diartikan cerita jaman dulu), yang merupakan jaman dimana pada masa itu mitologi Hindu dihimpun. Taghore ini kemudian mengajari mantra pada para pendeta dan mengirimkan ahli bahasa Sansekerta ke Bali setahun setelahnya. Kedatangan Taghore inilah yang kemudian membuat orang Bali mengenal istilah Hindu, dimana sebelumnya orang Bali mengenal keyakinan yang mereka anut itu sebagai keyakian Tirtha.
Ada dua majalah terkemuka pada masa tersebut yang kerap baku beda gagasan yaitu Bali Adnjana yang didirikan oleh organisasi Santi yang didukung Tjatoer Wangsa Derja Gama Hindoe Bali. Organisasi ini kemudian mewakili suara tiga kasta tertinggi di Bali (Brahmana, Ksatria dan Waysia) yang menginginkan pembaharuan dijalankan perlahan dengan tetap mempertahankan sistem kasta. Sedangkan yang satu lagi adalah Surya Kanta, yang didirikan I Ktoet Nasa, yang sebenarnya menjadi salah satu pendiri Santi. Namun ia ingin lebih menyuarakan kepentingan golongan Sudra atau Jaba. Meskipun keduanya sering berdebat beda ideologi dan gagasan, antara pimpinan Surya Kanta dan Bali Adnjana tetap memandang diri mereka sebagai entitas tunggal 'kita bangsa Bali'  yang sama-sama ingin 'menegoehkan Agama'. Perbedaannya adalah organisasi Santi ingin 'menegoehkan Adat dan Agama (Hindoe)' sementara Surya Kanta punya tujuan 'menegoehkan Agama dan merobah adat istiadat jang bertentangan dengan kemaoean zaman'. Adat yang dimaksud Surya Kanta adalah yang bikin rugi orang-orang Sudra/Jaba di Bali. Bagi Surya Kanta, orang Bali tidak akan memahami agamanya sepanjang mereka tidak tahu nama agama mereka. Orang Bali akan menganggap praktik keyakinan dan keagamaan yang amat beragam itu tidak termasuk agama, tapi lebih melihatnya sebagai adat. Sedangkan Bali Adnjana melihat keragaman tersebut sebagai suatu yang biasa sebab pada dasarnya Hinduisme bukanlah agama yang seragam.
.jpeg)
Sampai ketika Indonesia Merdeka tahun 1945, perdebatan tersebut tidak kunjung ada titik temunya. Ketika kemudian tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama, tembok pemisah antara agama dan aliran kepercayaan benar-benar dibangun. Dalam Peraturan Menteri Agama no. 9/1952 Bab VI disebutkan, Aliran Kepercayaan diartikan suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa. Sedangkan Agama didefinisikan seturut garis pemahaman Judaeo-Kristiani-Muslim yang monoteistik. Bila suatu komunitas ingin diakui beragama, mereka mesti menganut akidah monoteistik yang diakui secara internasional; diajarkan seorang nabi melalui kitab suci. Pada tahun 1952, kala itu Departemen Agama (sekarang Kementrian Agama) hanya mengakui tiga agama yang dipeluk rakyat Indonesia yaitu Islam, Protestan dan Katolikisme. Semua yang diluar itu akan diakui sebagai orang yang belum beragama. Semua tradisi di Nusantara, termasuk kebatinan Jawa digolongkan sebagai aliran kepercayaan kesukuan. Yang menarik adalah kebatinan Jawa itu sebenarnya menganut akidah monoteistik, karena meyakini satu Gusti Kang Murbeng Dumadi.
Lalu bagaimana dengan kepercayaan orang Bali ? Berdasarkan peninjauan pada tahun 1950, Departemen Agama menyimpulkan kehidupan di Bali berisi praktik politeistik dan animisme yang beragam. Oleh karena itu maka agama orang Bali digolongkan sebagai aliran kepercayaan dan dianggap sebagai 'orang yang belum beragama'. Tokoh masyarakat Bali tidak terima dengan kesimpulan itu, sehingga diputuskan para pemimpin organisasi reformasi agama yang berkembang pesat di Bali kala itu menyetujui untuk belajar ke India agar mendapat pengertian umum tentang prinsip dan praktik keagamaan mereka, agar sesuai dengan kriteria yang digariskan Departemen Agama Indonesia, sebagaimana dituliskan Martin Ramstedt dalam 'Negotiating Identities - Indonesian Hindus Between Local, National and Global Interest' (2004). Beberapa cendekiawan muda Bali kemudian dikirim belajar ke Shantiniketan Vishva Bharaty University, Banaras Hindu University dan International Academy of Indian Culture.
Pada 14 Juni 1958, kemudian dibuatlah petisi bersama yang diajukan guna menuntut pembentukan seksi Hindu Bali dalam Departemen Agama. Dalam petisi disebutkan bahwa Hindu Bali tidak bertentangan dengan Pancasila. Dan ternyata Presiden Sukarno, yang sangat mendukung terbentuknya 'kesatuan' menyambut baik petisi tersebut, sehingga pada 1 Januari 1959 pemerintah membentuk Bagian Urusan Hindu Bali dalam Departemen Agama. Pada tahun yang sama, semua organisasi keagamaan besar di Bali melebur menjadi satu badan bernama Parisada Dharma Hindu Bali. Pada tahun 1963, Bagian Urusan Hindu Bali tersebut berganti nama menjadi Biro Urusan Agama Hindu Bali. Setahun berikutnya, Parisada Hindu Dharma Bali mengganti namanya menjadi Parisada Hindu Darma.
Sedikit Lebih Mengenal Hindu Bali
Hari Raya yang dihitung berdasarkan weweran seperti Galungan (jatuh pada Buda, Kliwon, Dungulan); Kuningan (jatuh pada Saniscara, Kliwon, Kuningan); Saraswati (jatuh pada Saniscara, Umanis, Watugunung), Saraswati ini adalah merupakan Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati; Banyupinaruh (jatuh pada Redite, Pahing, Shinta); Pagerwesi. Sedangkan Hari Raya yang dihitung berdasarkan Kalender Saka adalah Siwaratri dan Nyepi.
Tentang Upacara keagamaan yang dilakukan sebetulnya tampak lebih seperti tradisi adat. Seperti misalnya Ritual Otonan (upacara yang diadakan pada hari lahir setiap 210 hari berdasarkan weton, yang dihitung berdasarkan sistem Kalender Bali), Ritual Melukat (ritual mandi besar untuk membuang sifat-sifat buruk bawaan manusia dari lahir), Ritual Potong Gigi (upacara yang wajib dilakukan ketika orang Bali, baik pria yang sudah akil balik atau untuk wanita yang sudah mengalami menstruasi). Hingga pada Ritual terakhir yaitu  Ritual Ngaben (upacara dan prosesi pembakaran jenasah sebagai upaya mempercepat pengembalian unsur-unsur/zat pembentuk raga, tubuh manusia ke alam semesta).
Secara keyakinan, Hindu Bali hanya memuja satu Tuhan yaitu Sang Hyang Widhi, dalam bahasa Sanskerta Acintya yang berarti Dia yang tak terpikirkan, Dia yang tak dapat dipahami, atau Dia yang tak dapat dibayangkan. Meskipun seperti agama Hindu pada umumnya, Hindu Bali juga mengenal dewa-dewa. Dalam keyakinan orang Bali (yang diajarkan oleh Empu Kuturan) dikenal tiga dewa yang disebut Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Dewa-dewa inilah yang arca dan patungnya di tempatkan di setiap pura yang berbeda-beda. Agama Hindu Bali berpegang pada kitab suci Weda. Weda Sruti yang merupakan sabda suci dari Tuhan yang dapat didengar secara langsung oleh para Maha Resi, yang kemudian dijelaskan dalam Weda Smerti. Sedangkan untuk panduan penyelenggaraan ritual keagamaannya dikenal Kitab Yadnja yang tertulis pada bilahan daun lontar
Toleransi di Bali
Secara statistik, hampir setengah masyarakat Bali memeluk agama Hindu Bali, yang diikuti dengan agama Islam, Kristen, Katolik dan agama serta kepercayaan lain. Data menurut Badan Pusat Statistik Pulau Bali sekitar 83,46% masyarakat Bali memeluk Hindu, 13,37% Islam, 1,66% Kristen Protestan, 0,88% Katolik, 0,54% Buddha, 0,01% Konghucu, 0,01% Aliran Kepercayaan dan 0,14% Penganut aliran lainnya. Dalam masyarakat Bali berkembang satu konsep hidup yang disebut sebagai Tri Hita Karana. Dalam konsep ini di sebutkan penyebab kesejahteraan manusia itu terletak dalam 3 hal yaitu Hubungan manusia dengan Tuhannya, Hubungan manusia dengan alam lingkungannya dan Hubungan manusia dengan manusia lainnya.


Toleransi itu bukan perkara 'menepikan perbedaan'. Karena bagaimanapun juga Saos tidak akan pernah bisa dicampurkan dengan kopi, atau dipaksakan dituang dalam segelas kopi. Bayangkan, Kopi yang kemudian dicampur Saos Sambel, seperti apa rasanya....akhirnya kan sampeyan akan tidak bisa menikmati lalu malah percampuran itu kemudian dibuang. Jadi biarkan Saos itu bercampur dengan mie instan dan kopi disatukan dengan susu, hingga sampeyan akan lebih bisa menikmatinya secara bersama-sama dan menjadi pengenyang di perut sampeyan.
Datang dan lihatlah, bagaimana Bali dan masyarakat serta tatanan kehidupannya yang sudah menunjukkan secara nyata bahwa penghormatan terhadap budaya asli, konsep keyakinan yang selaras dengan alam sehingga menghantarkan Bali kemudian layak menyandang sebutan sebagai Pulau Dewata.
0 Comments