Hindu Bali, Bentuk Nyata Inkulturasi Kepercayaan Dan Budaya Asli Yang Saling Melekat

Ketika kita akan berbicara tentang Agama Hindu, khususnya Hindu Bali, mungkin yang pertama muncul di benak sampeyan, saya dan mereka yang tidak menganut agama Hindu atau mungkin tidak mengenal seperti apa itu agama Hindu adalah....merupakan agama yang menyembah banyak dewa. Betul ?
Secara definitif akan tergambar dalam benak kita bahwa Hindu Bali itu agama yang menyembah berhala, menyembah pohon, menyembah patung...menyembah dewa, lalu dengan gampangnya orang-orang yang mengaku ber-Tuhan akan bilang itu kafir. Faktanya, Bali pernah di Bom kan oleh orang-orang yang mengaku beragama...dan berafiliasi dengan paham-paham kebencian terhadap agama yang berbeda dengan keyakinannya.

Artikel ini saya tulis dengan  maksud agar kita, manusia-manusia yang mengaku paling beragama, bisa mau membuka pikiran, meninggalkan kacamata kuda dan mulai mencoba mengenal sedikit tentang Hindu Bali. Karena bagaimanapun juga sebagai saudara satu bangsa yang mengaku Indonesia, yang berbeda-beda tetapi (katanya) tetap satu, Bali adalah bagian dari Indonesia dengan sejarah panjangnya.

Karena mungkin bacaan ini akan (terbaca) berat dan panjang, bikin kopi dulu deh biar bisa lebih terbuka hati dan pikirannya....bikin mie instan juga boleh koq....sambil meneruskan baca artikel ini.

Sekilas Hindu Bali Awal...


Agama Hindu Bali, yang disebut pula Agama Hindu Dharma atau Agama Tirtha (Agama Air Suci) adalah Agama (Kepercayaan) yang merupakan inkulturasi (sinkretisme, penggabungan) dari kepercayaan Hindu aliran Saiwa, Waisnawa  dan Brahma dengan kepercayaan asli suku Bali (sebelum masuknya Majapahit ke Pulau Bali). Dulu, di masa Shri Kesari Warmadewa (berasal dari Sriwijaya dan termasuk Wangsa Syailendra, pendiri Kerajaan Bedahulu) tidak hanya kepercayaan Tirtha yang berkembang. Ada banyak sekte aliran seperti Ciwa-Sidhantta, Pacupata, Bodha, Bhhairawa, Brahmana, Wesnawa, Rsi, Sora, Ganeca yang bukti sejarahnya masih bisa terbaca jelas di situs Cagar Budaya yang berupa pura di sepanjang Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu yang mengapit Tampaksiring. Kala itu semua aliran berdiri dengan benderanya masing-masing sehingga sering terjadi pergolakan yang berujung pada perpecahan. Untuk meredam pergolakan tersebut akhirnya diadakan paruman yang disebut Bata Anyar, yang dilakukan di Pura Samuan Tiga dan dipimpin Empu Kuturan.

Empu Kuturan sendiri datang ke Bali (diperkirakan) pada abad X saat pemerintahan Bali di pimpin Anak Wungsu, adik Raja Airlangga (Airlangga adalah pendiri dan Raja Kerajaan Kahuripan, di Jawa Timur). Lebih lanjut tentang Empu Kuturan nanti saya ceritakan di artikel selanjutnya tentang 'Goa Lawah'. Singkatnya, Empu Kuturan inilah yang mencetuskan tentang konsep Tri Murti yang menjadi tonggak awal lahirnya tatanan keagaamaan dan berkehidupan di Pulau Bali. Empu Kuturan membawa perubahan besar dengan mengajarkan masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Sang Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan kahyangan atau parahyangan. Dan Sang Hyang Widhi (Acintya atau Sang Hyang Tunggal) inilah yang kemudian diimani pemeluk Hindu Bali (Agama Tirtha) sebagai entitas yang esa. Pada agama Hindu umumnya dikenal dengan nama Brahman Atman Aikyam, yang artinya brahman dan atman adalah satu, tunggal. Dengan demikian kan artinya orang Hindu Bali ini bahwa Tuhan itu satu, Esa, walaupun disebut dengan Sang Hyang Widhi.

Kalau sampeyan merasa bahwa hanya sampeyan yang beribadah (berdoa) setiap hari pada jam-jam tertentu, sampeyan salah. Orang Hindu Bali ternyata juga punya kewajiban untuk berdoa di jam 06 pagi, jam 12 siang dan jam 6 sore. Maka jangan heran kalo sampeyan lihat pada jam-jam itu orang Bali akan meletakkan canang (baca artikel saya yang ini: 'Meletakkan Canang') dan berdoa, ya begitulah ritual berdoa orang (Hindu) Bali.

Mengapa Hindu (Bali) Bisa Bertahan Jadi Kepercayaan Mayoritas di Bali ?

Secara Historis (bisa dibuktikan dari berbagai prasasti di Bali), penyebaran dan masuknya agama Hindu ke Pulau Bali diawali dengan datangnya Empu Kuturan, yang meletakkan pondasi awal kepercayaan Hindu Bali. Hindu Bali menjadi semakin berkembang dengan adanya ekspansi Kerajaan Majapahit oleh Patih Gajahmada (dengan Sumpah Palapanya yang famous itu...). Pada ekspansi itu Kerajaan Majapahit berhasil mengalahkan Kerajaan Bedahulu dan berdirilah Kerajaan Gelgel yang terafiliasi dengan Majapahit.

Ketika Islam mulai masuk di Jawa ditandai dengan berdirinya Kesultanan Demak dan Kerajaan Majapahit yang mulai memudar dan terdesak sampai di Blambangan, pengaruh dan penyebaran Islam belum bisa menembus masuk sampai ke Pulau Bali. Diwarnai dengan segala intrik dan perebutan kekuasaan Kesultanan Demak berakhir dan kemudian berdirilah Kerajaan Mataram Islam dibawah Panembahan Senopati (Raden Sutawijaya). Kerajaan Mataram Islam sendiri dengan berbagai intrik-nya tidak cukup mampu untuk melawan dan mengalahkan Kerajaan Gelgel (yang setelah keruntuhan Majapahit Gelgel menjadi Kerajaan 'merdeka'). Bahkan Kerajaan Gelgel pada waktu itu mencapai masa kejayaannya di bawah pemerintahan Dalem Waturenggong. Kerajaan Gelgel pada masa itu bisa memperluas wilayah kekuasaan sampai di sebagian Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa.

Masuknya VOC ke Banten lalu mengusai Batavia yang membuat Kerajaan Mataram di bawah kepemimpinan Sultan Agung kemudian disibukkan dengan usaha mengusir kompeni dari tanah Jawa. Di Bali sendiri, Kerajaan Gelgel bukan tanpa masalah internal lalu kemudian bisa melanjutkan masa keemasannya. Pertikaian dan intrik politik internal dan terjadilah pemberontakan patih Gelgel, Gusti Agung Maruti yang berhasil merebut kekuasaan Dinasti Gelgel. Pada masa pemerintahan Gusti Agung Maruti ini banyak kerajaan bawahan Gelgel yang kemudian melepaskan diri. Gusti Agung Maruti kemudian berhasil dikalahkan oleh Dewa Agung Jambe (yang masih keturunan Dinasti Gelgel). Namun alih-alih merestorasi istana Gelgel, Dewa Agung Jambe kemudian memindahkan pusat pemerintahan Gelgel ke Samarapura, Klungkung dan berdirilah Kerajaan Klungkung. Pada masa Kerajaan Klungkung dipimpin Dewa Agung Di Made II, Kerajaan Klungkung terpecah menjadi 9 kerajaan-kerajaan kecil antara lain: Kerajaan Badung, Kerajaan Mengwi, Kerajaan Gianyar, Kerajaan Bangli, Kerajaan Buleleng, Kerajaan Karangasem, Kerajaan Tabanan, Kerajaan Klungkung dan Lombok

Belanda semakin tak terbendung dalam menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Ambisi Belanda untuk mewujudkan Pax Netherlandica (perdamaian di bawah Belanda) di Nusantara, membuat Belanda mulai melancarkan ekspedisi militernya lewat KNIL-nya ke Kerajaan Buleleng pada tahun 1846.

Ekspedisi Batalyon KNIL ke Bali - dok. Wikipedia

Belanda berperang di Bali selama 62 tahun sampai Kerajaan Klungkung dikalahkan dalam Puputan Klungkung tahun 1908. Kolonialis Belanda dengan mantap menancapkan kuku kekuasaannya di seluruh Pulau Bali.

Tetapi berbeda dengan wilayah-wilayah penaklukan Belanda yang lain, para Orientalis Eropa (para pengkaji kehidupan timur) kala itu, ternyata melihat Bali sebagai 'museum Hindu-Jawa'. Para orientalis Eropa itu senang sebab orang-orang Bali masih melestarikan teks dan ritual Hindu. Walaupun mereka tetap tidak satu suara dalam memandang sejauh mana kesesuaian praktik keagamaan di Bali dengan Hindu di India. John Crawfurd dan Thomas Stanford Raffles memandang pemujaan yang dilakukan orang Bali di kuil-kuil sebagai bentuk ketakhayulan sehingga tidak bisa disebut Hindu. Sedangkan R.H. Th. Friederich melihat agama yang dipraktekan di Bali adalah Hindu.
Diluar perdebatan para orientalis soal kesesuaian praktik keagamaan di Bali dengan India, para orientalis tersebut sepakat Hinduisme adalah inti dari masyarakat, penjaga keutuhan budaya dan inspirasi daya artistik orang Bali. Oleh karena itu, agama Bali harus dilindungi dari adanya pengaruh agama lain. Dari sini kemudian pemerintah kolonial kala itu menolak dan melarang kedatangan misionaris masuk ke Pulau Bali pada tahun 1881. Tahun 1924, misionaris Katolik Roma ditolak elite Bali dan keputusan tersebut didukung pegawai kolonial. Pada tahun 1931, misionaris Protestan Belanda mencoba masuk ke Bali dan kembali ditentang. Kepala Departemen Arkeologi Batavia kala itu, F.D.K. Bosch dan staffnya yang seorang ahli bahasa Jawa dan Bali Kuno yang bernama R. Goris, mengatakan masuknya misionaris akan menghancurkan kebudayaan Bali. Bagi Bosch dan Goris, agama Bali harus diakui sebagai bagian yang sah dari kepercayaan Hinduisme. Sementara bagi misionaris H. Kraemer, agama Bali sarat berisi sihir dan takhyul sehingga serupa dengan 'animisme' yang ditemui di banyak tempat di Nusantara serta mengandung hanya sedikit Hinduisme. Namun pada akhirnya, Gubernur Jendral Hindia Belanda tetap melarang misionaris masuk ke Bali.

Perjuangan Pengakuan Hindu Bali Sebagai Agama dan Adat

Pada tahun 1927, R. Taghore seorang peraih Nobel di bidang Sastra dari India melakukan perjalanan ke dareah Jawa dan Bali. Kala itu Taghore mencatat bahwa kebudayaan Bali dilihat sebagai kelanjutan jaman Purana (bahasa Sanskerta, diartikan cerita jaman dulu), yang merupakan jaman dimana pada masa itu mitologi Hindu dihimpun. Taghore ini kemudian mengajari mantra pada para pendeta dan mengirimkan ahli bahasa Sansekerta ke Bali setahun setelahnya. Kedatangan Taghore inilah yang kemudian membuat orang Bali mengenal istilah Hindu, dimana sebelumnya orang Bali mengenal keyakinan yang mereka anut itu sebagai keyakian Tirtha.

Pada warsa awal abad 20, masyarakat Bali mulai berkembang mengikuti modernisme yang di perkenalkan orang-orang Eropa. Pelbagai organisasi modern yang kemudian berkembang mendirikan sekolah dan yayasan keagamaan mulai didirikan dan berkembang di Singaraja. Organisasi tersebut kemudian juga menerbitkan jurnal berbahasa Melayu dan mengangkat persoalan sistem kasta di Bali.

Ada dua majalah terkemuka pada masa tersebut yang kerap baku beda gagasan yaitu Bali Adnjana yang didirikan oleh organisasi Santi yang didukung Tjatoer Wangsa Derja Gama Hindoe Bali. Organisasi ini kemudian mewakili suara tiga kasta tertinggi di Bali (Brahmana, Ksatria dan Waysia) yang menginginkan pembaharuan dijalankan perlahan dengan tetap mempertahankan sistem kasta. Sedangkan yang satu lagi adalah Surya Kanta, yang didirikan I Ktoet Nasa, yang sebenarnya menjadi salah satu pendiri Santi. Namun ia ingin lebih menyuarakan kepentingan golongan Sudra atau Jaba. Meskipun keduanya sering berdebat beda ideologi dan gagasan, antara pimpinan Surya Kanta dan Bali Adnjana tetap memandang diri mereka sebagai entitas tunggal 'kita bangsa Bali'  yang sama-sama ingin 'menegoehkan Agama'. Perbedaannya adalah organisasi Santi ingin 'menegoehkan Adat dan Agama (Hindoe)' sementara Surya Kanta punya tujuan 'menegoehkan Agama dan merobah adat istiadat jang bertentangan dengan kemaoean zaman'. Adat yang dimaksud Surya Kanta adalah yang bikin rugi orang-orang Sudra/Jaba di Bali. Bagi Surya Kanta, orang Bali tidak akan memahami agamanya sepanjang mereka tidak tahu nama agama mereka. Orang Bali akan menganggap praktik keyakinan dan keagamaan yang amat beragam itu tidak termasuk agama, tapi lebih melihatnya sebagai adat. Sedangkan Bali Adnjana melihat keragaman tersebut sebagai suatu yang biasa sebab pada dasarnya Hinduisme bukanlah agama yang seragam.


Pada tahun 1936, sebuah majalah bernama Djatajoe didirikan organisasi Bali Darma Laksana. Redakturnya berisi orang-orang eks Bali Adnjana, Surya Kanta dan Bhawanagara. Isu keagamaan dan berbagai seruan untuk mereformasi agama serta adat kemudian seperti memperoleh ruang untuk berpolemik dari awal majalah ini didirikan. Dan yang namanya polemik, pada akhirnya hanya memunculkan perdebatan-perdebatan yang makin meruncing, rumit dan tidak pernah tuntas. Hal tersebut kemudian ditambah rumit lagi ketika orang-orang Bali harus berhadapan dengan pandangan pribumi pulau lain, penganut agama lain yang lebih melihat mereka sebagai pemuja berhala ataupun penganut animisme.

Sampai ketika Indonesia Merdeka tahun 1945, perdebatan tersebut tidak kunjung ada titik temunya. Ketika kemudian tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama, tembok pemisah antara agama dan aliran kepercayaan benar-benar dibangun. Dalam Peraturan Menteri Agama no. 9/1952 Bab VI disebutkan, Aliran Kepercayaan diartikan suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya sepanjang masa. Sedangkan Agama didefinisikan seturut garis pemahaman Judaeo-Kristiani-Muslim yang monoteistik. Bila suatu komunitas ingin diakui beragama, mereka mesti menganut akidah monoteistik yang diakui secara internasional; diajarkan seorang nabi melalui kitab suci. Pada tahun 1952, kala itu Departemen Agama (sekarang Kementrian Agama) hanya mengakui tiga agama yang dipeluk rakyat Indonesia yaitu Islam, Protestan dan Katolikisme. Semua yang diluar itu akan diakui sebagai orang yang belum beragama. Semua tradisi di Nusantara, termasuk kebatinan Jawa digolongkan sebagai aliran kepercayaan kesukuan. Yang menarik adalah kebatinan Jawa itu sebenarnya menganut akidah monoteistik, karena meyakini satu Gusti Kang Murbeng Dumadi.

Lalu bagaimana dengan kepercayaan orang Bali ? Berdasarkan peninjauan pada tahun 1950, Departemen Agama menyimpulkan kehidupan di Bali berisi praktik politeistik dan animisme yang beragam. Oleh karena itu maka agama orang Bali digolongkan sebagai aliran kepercayaan dan dianggap sebagai 'orang yang belum beragama'. Tokoh masyarakat Bali tidak terima dengan kesimpulan itu, sehingga diputuskan para pemimpin organisasi reformasi agama yang berkembang pesat di Bali kala itu menyetujui untuk belajar ke India agar mendapat pengertian umum tentang prinsip dan praktik keagamaan mereka, agar sesuai dengan kriteria yang digariskan Departemen Agama Indonesia, sebagaimana dituliskan Martin Ramstedt dalam 'Negotiating Identities - Indonesian Hindus Between Local, National and Global Interest' (2004). Beberapa cendekiawan muda Bali kemudian dikirim belajar ke Shantiniketan Vishva Bharaty University, Banaras Hindu University dan International Academy of Indian Culture.

Pada 14 Juni 1958, kemudian dibuatlah petisi bersama yang diajukan guna menuntut pembentukan seksi Hindu Bali dalam Departemen Agama. Dalam petisi disebutkan bahwa Hindu Bali tidak bertentangan dengan Pancasila. Dan ternyata Presiden Sukarno, yang sangat mendukung terbentuknya 'kesatuan' menyambut baik petisi tersebut, sehingga pada 1 Januari 1959 pemerintah membentuk Bagian Urusan Hindu Bali dalam Departemen Agama. Pada tahun yang sama, semua organisasi keagamaan besar di Bali melebur menjadi satu badan bernama Parisada Dharma Hindu Bali. Pada tahun 1963, Bagian Urusan Hindu Bali tersebut berganti nama menjadi Biro Urusan Agama Hindu Bali. Setahun berikutnya, Parisada Hindu Dharma Bali mengganti namanya menjadi Parisada Hindu Darma.

Pada tahun 1966 - 1980, setelah peristiwa PKI, banyak orang yang harus beragama (secara KTP) jika tidak ingin dicap Komunis. Hal ini kemudian membuat banyak orang yang awalnya masuk dalam kategori aliran kepercayaan akhirnya harus memilih agama yang paling mendekati dengan praktek aliran kepercayaannya itu. Seperti misalnya orang-orang yang tadinya kebatinan Jawa, kepercayaan Sunda wiwitan dll kemudian 'memilih' Islam sebagai agama resminya. Begitu juga orang Jawa seperti orang Tengger di kawasan Bromo, Jawa Timur, orang Bugis To Wani To Lotang, Toraja-Mamasa, Toraja Sa'dan di Sulawesi Selatan, sebagian orang Karo di Sumatera Utara dan orang Ngaju serta Luangan di Kalimantan Selatan kemudian menyatakan diri mereka sebagai Hindu. Hingga kemudian pada tahun 1986, Parisada Hindu Dharma berganti nama menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia, agar dapat menaungi semua komunitas Hindu di Indonesia.

Sedikit Lebih Mengenal Hindu Bali

Pada dasarnya dalam bermasyarakat, Agama Hindu dilandaskan pada kerangka moralitas dan hukum berdasarkan pada Karma, Darma dan Norma. Sehingga bisa dikatakan bahwa Agama Hindu akan lebih menekankan aspek filosofis daripada menseragamkan perangkat keyakinannya. Dalam hal ini, Agama Hindu Bali kemudian akan menjadi terlihat berbeda dengan Hindu di tempat lain seperti Hindu di India. Seperti saya sudah tuliskan sebelumnya, hal ini jugalah yang kemudian membuat praktik keagamaan Hindu Bali lebih terlihat seperti adat, budaya setempat yang saling melekat. Misalnya seperti sistem kalender, walaupun secara umum di Bali digunakan kalender masehi, namun untuk menentukan hari raya keagamaan dan ritual tradisinya (seperti ritual Mebayuh) ditentukan melalui perhitungan berdasarkan weweran dan pawukon dan merupakan kombinasi antara Pancawarna, Saptawara dan Wuku. Meskipun ada juga hari raya yang menggunakan perhitungan berdasarkan kalender Saka dari India.

Hari Raya yang dihitung berdasarkan weweran seperti Galungan (jatuh pada Buda, Kliwon, Dungulan); Kuningan (jatuh pada Saniscara, Kliwon, Kuningan); Saraswati (jatuh pada Saniscara, Umanis, Watugunung), Saraswati ini adalah merupakan Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati; Banyupinaruh (jatuh pada Redite, Pahing, Shinta); Pagerwesi. Sedangkan Hari Raya yang dihitung berdasarkan Kalender Saka adalah Siwaratri dan Nyepi.

Tentang Upacara keagamaan yang dilakukan sebetulnya tampak lebih seperti tradisi adat. Seperti misalnya Ritual Otonan (upacara yang diadakan pada hari lahir setiap 210 hari berdasarkan weton, yang dihitung berdasarkan sistem Kalender Bali), Ritual Melukat (ritual mandi besar untuk membuang sifat-sifat buruk bawaan manusia dari lahir), Ritual Potong Gigi (upacara yang wajib dilakukan ketika orang Bali, baik pria yang sudah akil balik atau untuk wanita yang sudah mengalami menstruasi). Hingga pada Ritual terakhir yaitu  Ritual Ngaben (upacara dan prosesi pembakaran jenasah sebagai upaya mempercepat pengembalian unsur-unsur/zat pembentuk raga, tubuh manusia ke alam semesta).

Sebagaimana di Hindu pada umumnya berlaku penggolongan manusia menurut kasta-nya, untuk Hindu Bali berlaku sistem pembagian kehidupan manusia yang disebut Catur Varna (Warna). Catur Varna berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti Catur adalah empat dan Warna (atau dari wri) yang artinya memilih. Dalam Catur Warna kemudian diartikan sebagai empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dalam dirinya dan ditopang ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Sistem penggolongan ini yang biasanya dikenal sebagai sistem kasta di Bali dan terdiri dari Brahmana, Kstaria, Waisya dan Sudra.

Secara keyakinan, Hindu Bali hanya memuja satu Tuhan yaitu Sang Hyang Widhi, dalam bahasa Sanskerta Acintya yang berarti Dia yang tak terpikirkan, Dia yang tak dapat dipahami, atau Dia yang tak dapat dibayangkan. Meskipun seperti agama Hindu pada umumnya, Hindu Bali juga mengenal dewa-dewa. Dalam keyakinan orang Bali (yang diajarkan oleh Empu Kuturan) dikenal tiga dewa yang disebut Tri Murti, yaitu Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Dewa-dewa inilah yang arca dan patungnya di tempatkan di setiap pura yang berbeda-beda. Agama Hindu Bali berpegang pada kitab suci Weda. Weda Sruti yang merupakan sabda suci dari Tuhan yang dapat didengar secara langsung oleh para Maha Resi, yang kemudian dijelaskan dalam Weda Smerti. Sedangkan untuk panduan penyelenggaraan ritual keagamaannya dikenal Kitab Yadnja yang tertulis pada bilahan daun lontar

Pada hakikatnya, Kepercayaan Orang Bali yang melekat pada Adat dan Budayanya kemudian membuat budaya Bali menjadi kebudayaan yang ekspresif dengan mengedepankan aspek religius dan juga estetika sebagai nilai dominan. Kentalnya nuansa religi dalam kebudayaan masyarakat Bali ini tidak terlepas dari konsepsi tentang lingkungan sekala dan niskala. Dimana konsepsi ini kemudian melahirkan Hindu Bali yang lebih menekankan pengalaman spiritual dan perjalanan manusia dalam memaknai hidupnya.

Toleransi di Bali

Secara statistik, hampir setengah masyarakat Bali memeluk agama Hindu Bali, yang diikuti dengan agama Islam, Kristen, Katolik dan agama serta kepercayaan lain. Data menurut Badan Pusat Statistik Pulau Bali sekitar 83,46% masyarakat Bali memeluk Hindu, 13,37% Islam, 1,66% Kristen Protestan, 0,88% Katolik, 0,54% Buddha, 0,01% Konghucu, 0,01% Aliran Kepercayaan dan 0,14% Penganut aliran lainnya. Dalam masyarakat Bali berkembang satu konsep hidup yang disebut sebagai Tri Hita Karana. Dalam konsep ini di sebutkan penyebab kesejahteraan manusia itu terletak dalam 3 hal yaitu Hubungan manusia dengan Tuhannya, Hubungan manusia dengan alam lingkungannya dan Hubungan manusia dengan manusia lainnya.


Dilandasi konsep inilah kemudian yang membuat toleransi antar sesama menjadi satu nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali, terutama penganut Hindu Bali. Penganut Hindu Bali meyakini bahwa masing-masing manusia itu punya cara yang berbeda untuk berhubungan dan menyembah Tuhannya, walaupun Tuhan dinamai secara berbeda-beda, tapi tetap satu dalam konsep ke-esaan-Nya. Toleransi antar umat beragama ini kemudian dibuktikan dengan dibangunnya Puja Mandala, dimana dalam satu lokasi terdapat tempat peribadatan 5 agama di Indonesia (Hindu, Islam, Kristen, Katolik dan Buddha). Toleransi inipun kemudian terlihat dalam kehidupan keseharian masyarakat Bali, kalo tidak percaya, silahkan berkunjung ke Bali pas bulan Ramadhan (bulan puasa umat Islam). Di Bali tidak mengenal istilah tutup warung atau warung yang wajib pasang gorden, karena bukankah esensi beribadah itu adalah merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya, bukan untuk dipertunjukkan demi mengesankan orang lain.


Toleransi itu bukan perkara 'menepikan perbedaan'. Karena bagaimanapun juga Saos tidak akan pernah bisa dicampurkan dengan kopi, atau dipaksakan dituang dalam segelas kopi. Bayangkan, Kopi yang kemudian dicampur Saos Sambel, seperti apa rasanya....akhirnya kan sampeyan akan tidak bisa menikmati lalu malah percampuran itu kemudian dibuang. Jadi biarkan Saos itu bercampur dengan mie instan dan kopi disatukan dengan susu, hingga sampeyan akan lebih bisa menikmatinya secara bersama-sama dan menjadi pengenyang di perut sampeyan.

Persatuan, tidak akan pernah bisa terwujud sempurna tanpa kita masing-masing mau melihat dan memandang lebih luas makna dan arti perbedaan. Persatuan tanpa kalkulasi perbedaan pada akhirnya hanya akan berujung pada dominasi, intimidasi dan pemaksaan, yang akhirnya hanya akan berujung pada pertikaian, perpecahan dan kehancuran. Sudah banyak cerita kearifan masa lalu dimana perbedaan bisa saling hidup berdampingan dan selaras berjalan bersama mencapai maksud penciptaan manusia demi terciptanya harmoni di muka bumi ini. Kuncinya adalah bagaimana kita mau saling belajar untuk memahami segala hal yang berbeda untuk mencari sebuah tujuan yang sama-sama ingin dicapai.

Datang dan lihatlah, bagaimana Bali dan masyarakat serta tatanan kehidupannya yang sudah menunjukkan secara nyata bahwa penghormatan terhadap budaya asli, konsep keyakinan yang selaras dengan alam sehingga menghantarkan Bali kemudian layak menyandang sebutan sebagai Pulau Dewata.

Lihat, pahami dan rasakan....
Post Navi

Post a Comment

0 Comments

Close Menu