Sudah baca artikel saya tentang Mpu Kuturan dari Majapahit dan datang ke Bali kemudian meletakkan pondasi awal kepercayaan Hindu Bali ? Kalo belum, sampeyan bisa baca di artikel 'Sekilas Mengenal Hindu Bali'. Artikel kali ini adalah tentang Goa Lawah (Goa Kelelawar) yang ternyata masih ada hubungannya dengan kisah Mpu Kuturan.

Sejarah dan Mitology
Goa Lawah secara etimologi berarti Goa/Gua (lubang) dan Lawah yang berarti kelelawar dalam bahasa Bali. Jadi Goa Lawah ini artinya 'goa yang dihuni oleh kelelawar'. Menurut beberapa catatan sejarah, antara lain Lontar Usana Bali dan Lontar Babad Pasek, Pura Goa Lawah didirikan sekitar abad 11 Masehi atau pada tahun 929 Saka / 1007 Masehi atas prakarsa Mpu Kuturan. Ada cerita yang berkembang bahwa sebenarnya Pura ini sudah berdiri sebelum itu dan kemudian Mpu Kuturan-lah yang merenovasi dan melakukan perluasan kompleks pada abad ke-14 Masehi.

Dalam Lontar Padma Buwana disebutkan bahwa Pura Goa Lawah merupakan salah satu kahyangan jagad/sad kahyangan sebagai Stana Dewa Maheswara (salah satu dari Dewata Nawa Sanga) dan Sanghyang Basukih. Menurut Lontar Prekempa Gunung Agung, Pura Goa Lawah ini merepresentasikan kepala dari Naga Basukih, sedangkan ekor sang Naga direpresentasikan oleh Goa Raja di Komplek Pura Besakih. Menurut kepercayaan lokal, dahulu ada terowongan sepanjang 30 km dari Goa Raja yang bisa tembus sampai Goa Lawah, namun karena adanya gempa bumi tahun 1917, lorong tersebut runtuh.
Ada cerita lain yang mengisahkan perjalanan spiritual Kebo Iwa ketika belajar ilmu kanuragan. Kebo Iwa melakukan semedi di Goa Garba dan kemudian muncul keluar di Goa Lawah yang selanjutnya melanjutkan perjalanan pencariannya dengan menyeberang ke Nusa Penida. Sebelum kemudian Kebo Iwa menjadi Panglima Perang Kerajaan Bedahulu yang menyulitkan Gajahmada dalam ambisinya menaklukan Bali dan menyatukan Nusantara.

Pada Masa Kerajaan Gelgel (setelah Bali ditaklukan Majapahit), dalam Lontar Dwijendra Tatwa dikisahkan tentang perjalanan Danghyang Nirartha yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh dari Gelgel menuju Kusamba. Ketika sampai di Kusamba, Danghyang Nirartha justru tidak berhenti hingga sampai di Goa Lawah. Sang pendeta masuk ke tengah goa, melihat kelelawar dalam goa yang jumlahnya ribuan. Di atas Goa tersebut ada perbukitan dimana bunga-bunga tampak bersinar dan jauh berserakan serta memandang pulau Nusa Penida yang tampak indah. Lalu dibangunlah padmasana  yang merupakan tempat Stana para Dewa.

Jika kita melihat lebih jauh ke belakang yakni pada jaman Megalitikum, masyarakat Bali masih kental dengan penghormatan terhadap kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang menyatu dengan arwah nenek moyang. Selain itu masyarakat Bali juga menghormati kekuatan laut, disamping kekuatan-kekuatan alam lainnya, seperti batu besar, goa, campuhan, kelebutan dan lainnya. Tidaklah mengherankan jika pemujaan agama Hindu Bali masih terpengaruh konsep pemujaan terhadap kekuatan segara-gunung yang merupakan dresta tua.

0 Comments