The Last Duel: Cerita Duel Sampai Mati Karena Harta, Tahta dan Wanita

 Awalnya saya nemu film ini adalah karena gabut, coba praktek project bikin alat tapi gak jadi-jadi...akhirnya saya iseng browsing cari film. Eh ketemu film ini. Saya tertarik film ini karena dikatakan bahwa ini based on true story....cerita nyata yang pernah terjadi di Prancis sekitar tahun 1336'an kalo gak salah. Kalo sampeyan termasuk penggemar film-film epic seperti Gladiator atau Kingdom of Heaven. mungkin film ini akan memuaskan dan tepat buat sampeyan.

Cerita yang berlatar belakang kisah sejarah film ini diangkat dari buku 'The Last Duel: A True Story of Trial by Combat in Medieval France' karya Eric Jager. Di sutradai Ridley Scott (Gladiator, The Martian) dan dibintangi Matt Damon sebagai Jean de Carroughes, Adam Driver sebagai Jacques Le Gris dan Jodie Corner sebagai Marguerite, istri Jean de Carrouges. 

Sepanjang film ini kita disajikan sebuah kisah sejarah yang mengandung intrik dan persaingan dalam lingkaran bangsawan (ksatria Prancis), sekuen peperangan yang kerap terjadi pada masa itu dan pertarungan brutal demi harga diri. Secara utuh, ketika kita menyimak alur cerita naskahnya, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa film ini mengandung drama yang mendalam dan masih sangat relevan dengan di era yang sudah modern ini. Kita akan mendapati kisah drama tentang Harta, Tahta dan Wanita, yang didalamnya ikut diangkat isu tentang kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan.

Film dibuka dengan cerita dua orang squires (pengawal) Prancis yang saling bersahabat bernama Jean de Carrouges dan Jacques Le Gris. Keduanya mengabdi pada satu Tuan (Baron) yang sama yaitu Count Pierre of Alencon. Pada abad pertengahan, srtuktur masyarakat tertinggi Prancis adalah seorang raja, yang menerima saran dari dewan tertingginya yaitu Parlemen Prancis. Dibawahnya ada 3 peringkat utama bangsawan, yaitu Baron, Ksatria (Knight) dan Pengawal (Squires). Le Gris dan de Carrouges, memulai karir pengabdiannya pada Count Pierre sebagai Squires.

Jacques Le Gris dengan segala kepintaran dan kemampuannya berhasil menjadi seorang yang disukai dan dipercaya oleh Count Pierre. Sementara Jean de Carrouges yang berharap bisa menggantikan posisi ayahnya sebagai Kapten yang membawahi Garnisun harus mengalami masalah finansial karena ada wabah penyakit yang melanda Prancis. Kesulitan finansial ini berimbas pada ketidak mampuannya membayar upeti kepada Count Pierre. Hingga suatu saat Jean de Carrouges bertemu dengan puteri seorang bangsawan (yang pernah di cap sebagai pengkhianat yang diampuni), Marguerite de Thibouville. Jean de Carrouges kemudian memutuskan untuk menikahi Marguerite karena ayahnya akan memberikan sebagian tanah yang dimilikinya sebagai mahar pernikahan. Pada masa itu, di Prancis berlaku sistem penutupan (Coverture) yang berlaku secara umum. Coverture artinya bahwa seorang wanita ketika menikah maka dia kehilangan semua hak hukumnya, seperti hak untuk memiliki properti, memberi wasiat, menuntut dan lain-lain. Yang kemudian membuat Jean de Carrouges menjadi seorang yang memiliki tanah dan lahan untuk dikelola setelah dia kehilangan tanah (yang dulunya) milik ayahnya, tapi diambil alih oleh Count Pierre karena ketidakmampuan finansialnya membayar upeti.

Film ini dibagi dalam 3 Chapter yang merupakan point of view dari masing-masing tokoh utama, Jean de Carrouges, Jacques Le Gris dan Marguerite de Carrouges. Jika di awal film kita disuguhi 2 chapter dengan penggambaran tentang situasi Prancis (Eropa) yang diwarnai dengan berbagai peperangan, di chapter ke-3 pandangan penonton akan diubah untuk lebih memahami alur cerita dari sisi Marguerite dalam usahanya mempertahankan kebenaran yang diyakininya.

The Last Duel menjadi sebuah film yang terasa klasik tapi modern pada saat yang bersamaan karena isu utama yang menjadi roh cerita di film ini adalah isu tentang tuduhan de Carrouges bahwa Le Gris telah memperkosa Marguerte, istrinya. Disini digambarkan bahwa sebenarnya motivasi di Carrouges menuntut keadilan itu tidak lepas dari penuntutan harga diri karena merasa istrinya, seorang wanita yang merupakan 'properti' dan harus dilindungi oleh suaminya. Jika seorang istri diperkosa oleh laki-laki lain, hal itu dianggap sebagai kerugian properti bagi sang suami.

Film ini selanjutnya akan mengajak penonton untuk merefleksikan budaya pemerkosaan (rape culture) yang ternyata masih berlaku sama dari jaman abad pertengahan sampai sekarang. Budaya pemerkosaan yang mengacu pada sebuah pengkondisian sosial yang kita alami secara kolektif sebagai budaya tempat kekerasan seksual di toleransi, diremehkan, dimaafkan, dinormalisasi, diolok-olok dan bahkan dipromosikan. Ini berfungsi untuk memaafkan tindakan pelaku sekaligus menyalahkan korban (Connel N, Wilson C, 1974).

Ada dua ciri-ciri suatu masyarakat patut diduga menganut budaya pemerkosaan (rape culture). Ciri pertama, saat masyarakat membernarkan tindakan-tindakan kejahatan seksual, dengan cara menunjuk korban sebagai pihak utama untuk disalahkan, misalnya seperti meyakini bahwa pemerkosaan terjadi karena persetujuan korban atau pelecehan seksual terjadi karena korban 'menginginkanya'. Ciri kedua, saat tindakan-tindakan heteroseksualitas yang tidak pantas dianggap sebagai sesuatu yang normal. (Sills, Shoppie, 2016)

Setelah Jean melaporkan kepada Raja Charles VI, pengadilan pun digelar. Semua orang mencemooh pengakuan Marguerite sebagai tindakan yang mengada-ada, bahkan kalopun dianggap memang benar-benar terjadi, Marguerite dianggap memancing Le Gris untuk melakukan pemerkosaan atas persetujuan dirinya. Atau kalo dalam Chapter sudut pandang Le Gris, Marguerite dianggap memang menginginkan dirinya untuk melakukan hal tersebut. Orang-orang terdekat Marguerite sontak jadi memusuhi dan menjauhinya. Bahkan ibu mertuanya, Nicole de Carrouges, sempat membujuknya untuk bisa menghindarkan anaknya dari kemungkinan terjadinya duel sampai mati dengan sebuah pemakluman: 'The truth does not matter. You look at me as if I were never young. I was raped'


Margueite mengatakan,"Aku adalah seorang istri yang baik. Lalu aku dihakimi dan dipermalukan oleh negaraku sendiri". Di tempat lain ia mengatakan, "Yang aku katakan di hadapan kalian adalah sebuah kebenaran, dan aku tidak akan pernah diam". Hingga akhirnya setelah disumpah atas nama Tuhan, Raja kemudian memutuskan agar de Carrouges dan Le Gris melakukan duel maut sebagai ajang pembuktian. Jika de Carrouges menang, maka terbukti bahwa Marguerite berkata jujur. Jika sebaliknya, Le Gris yang menang, maka tuduhannya akan dipandang sebagai omong kosong. Ia akan dicap sebagai orang yang kehilangan harga dirinya di hadapan Tuhan dan manusia, dan hukumannya untuk tuduhan palsu tersebut adalah Marguerite akan dibakar hidup-hidup di muka umum.

Bagaimanapun juga film ini cukup memberikan sajian yang lengkap karena dengan berbagai sudut pandang, kita diberikan kesempatan untuk belajar menilai setiap karakter dari ketiga chapter yang disuguhkan. Dari ketiga chapter tersebut kita juga bisa menangkap dan merefleksikan bagaimana kita menanggapi sebuah kasus pelecehan seksual pada perempuan, bagaimana pelaku bisa saja memberikan pernyataan yang menyudutkan korban dan dengan seribu usaha mencoba memutar balikkan fakta.

Hingga pada akhir cerita, kita akan disuguhi adegan duel yang dinanti-nantikan sebagai wujud pembuktian siapa sebenarnya yang bersalah. Untuk bisa menikmati ketegangan menunggu akhir film ini, saya sarankan untuk sampeyan yang ingin menonton, jangan browsing cerita sejarahnya, walaupun dikatakan film ini based on true story. Karena dalam babak akhir yang berisi adegan duel sampai mati ini, penonton akan diajak merasakan ketegangan dan kegelisahan Marguerite menanti nasibnya ditangan dua pria yang sebetulnya hanya bertarung demi nama mereka masing-masing.

Menurut saya, The Last Duel ini sangat layak untuk ditonton. Film ini mungkin bisa menginspirasi korban tindak kekerasan seksual untuk tetap berani bersuara. Tidak mudah memang, jika dihadapkan pada kemungkinan akan dicemooh, diasingkan, disingkirkan bahkan bisa jadi diancam untuk dilenyapkan. Setidaknya satu hal yang perlu diingat bahwa sejatinya, apa yang sedang disuarakan para korban kejahatan seksual bukan hanya semata-mata berupaya agar pelaku mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukannya di hadapan hukum. Tapi perlu diketahui juga bahwa para korban kejahatan seksual yang berani bersuara adalah mereka yang berani mencoba menyelamatkan orang lain dari kejadian, kejahatan dan perlakuan yang serupa dengan pelaku yang sama.

Selamat menonton dan merefleksikan

Post Navi

Post a Comment

0 Comments

Close Menu