Imlek Itu Merayakan Apa ?

Hari-hari ini cuaca sering tidak menentu dan seringkali hujan dengan skala ringan, sedang atau bahkan deras. Mitosnya sih cuaca akan terus begini sampai nanti perayaan Imlek, karena katanya kalo hujan deras terjadi sampai malam menjelang Imlek, maka demikianlah rejeki yang akan didapat di tahun yang baru ini.
Di Indonesia, tidak sedikit orang yang mengartikan tradisi Imlek secara salah kaprah. Imlek diartikan sebagai Hari Raya Agama Buddha, hanya karena melihat banyak vihara dan Klenteng yang mengadakan acara perayaan Imlek. Padahal bukan....Imlek bukanlah Hari Raya suatu agama, bukan Hari Raya Agama Buddha, Tao ataupun Kong Hu Cu.

Imlek, Arti dan Tujuan Perayaannya

Dalam perayaan Imlek sejarahnya, adalah  pesta untuk menyambut datangnya musim semi. Dulu mayoritas penduduk Tiongkok menggantungkan hidupnya dengan bertani. Ketika musim semi tiba, para petani ini merasa hidup kembali setelah mengalami 'kematian' dan kedinginan pada musim dingin yang suram.
Para petani akan kembali mempersiapkan tanah, bibit dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kembalinya aktivitas bercocok tanam. Dari situ maka perayaan Imlek secara tradisional akan dimaknai sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki setahun yg sudah berjalan dan berharap kemakmuran akan datang pada tahun berikutnya. Disamping itu, seperti layaknya orang-orang yang merayakan Lebaran dengan mudik dan kumpul bersama keluarga besar, Imlek juga merupakan waktu yang tepat untuk bisa mngumpulkan dan menyatukan lagi keturunan Tionghoa yang ada dalam sebuah pesta keluarga serta doa bersama.

Imlek berasal dari Dialek Hokkian, IM yang artinya Lunar atau bulan dan LEK yang artinya Kalender. Dalam Dialek Mandarin, Imlek disebut Yin li (阴历) yang berarti Lunar Calender atau Kalender Lunar atau penanggalan  yang disusun dan dhitung berdasarkan peredaran bulan. Istilah Imlek ini hanya ada di Indonesia karena di setiap masing-masing  negara punya istilah lain ( secara tradisional disebut Yuan Dan/元旦 atau Zheng Ri/正日, di Vietnam, disebut Tết Nguyên Đán/節元旦 dan di Korea, 설날untuk menyebut Tahun Baru China atau mungkin lebih dikenal dengan istilah Festival Musim Semi (Spring Festival//春節) di China.


Mitos dan Cerita di Balik Perayaan Imlek

Sama halnya dengan perayaan-perayaan tradisional di China yang penuh dengan cerita mitos, Festival Musim Semi ini memiliki banyak mitos. Dan yang paling populer adalah mitos Raksasa 'Nian'.

Ceritanya begini...

Pada Zaman dulu, ada sejenis Raksasa yang sangat ganas dan tinggal di hutan-hutan  pengunungan, orang-orang pada saat itu menyebutnya sebagai 'Nian'.  Bentuk Raksasa 'Nian' sangat ganas dan menakutkan, sifatnya sangat kejam. Makanan Raksasa “Nian” adalah  binatang-binatang liar, burung, serangga dan juga manusia. Setiap hari memakan jenis makanan yang berbeda-beda. Semua orang  pada saat itu sangat takut dengan Raksasa yang ganas ini. Tetapi beriringnya waktu, perlahan-lahan orang-orang mengetahui dan menguasai semua kegiatan-kegiatan Raksasa, setiap 365 hari, Raksasa Nian akan pergi ke kerumunan orang ramai untuk mencari mangsanya. Waktu keluarnya Raksasa Nian adalah pada malam hari saat Matahari sudah terbenam dan pulang ke pengunungannya pada waktu fajar saat Ayam berkokok.
Setelah mengetahui waktu muncul dan menguasai sifatnya Raksasa Nian, Orang-orang pada saat itu selalu melakukan persiapan dan menjaga-jaga untuk menghadapi Raksasa buas ini termasuk tidak tidur pada malam tersebut,  yang kemudian disebut dengan istilah “Nian Guan”. Untuk menghadapi Raksasa 'Nian', berikut ini cara-cara yang harus dilakukan:
  • Pada malam yang bersangkutan, setiap keluarga menyiapkan makanan untuk makan malam lebih awal dari biasanya, sehingga tidak ada lagi kegiatan masak memasak di dapur.
  • Menutup dan mengunci semua pintu baik pintu depan maupun pintu belakang.
  • Sembunyi dirumah untuk makan malam bersama keluarga atau disebut dengan “Nian Ye Fan”. Karena makan malam ini sangat berbahaya dan beresiko, maka makan malam tersebut akan lebih enak dan special. 
  • Mempersembahkan makanan kepada Dewa dan para leluhur untuk mendapatkan lindungan dari mereka supaya dapat bebas dari ancaman Raksasa Nian. 
  • Saat Makan, semua anggota keluarga duduk membentuk lingkaran sebagai lambang keharmonisan keluarga. 
  • Setelah Makan Malam, siapapun tidak berani tidur dan semua anggota keluarga duduk berdekatan supaya tidak takut hingga Fajar, Ayam berkokok menandakan sudah bebas dari ancaman Raksasa Nian. 

Dengan demikian kebiasaan Makan malam dan tradisi untuk tidak tidur pada malam Tahun Baru Imlek tersebut berlangsung hingga kini dan menjadi Tradisi Khas Tahun Baru Imlek meskipun saat ini sudah tidak ada ancaman Raksasa Nian lagi. Perasaan takut dan kuatir sudah tidak ada lagi, yang ada adalah perasaan senang, bahagia dan penuh harapan.

Cerita lainnya adalah cerita tentang penciptaan kalender Imlek oleh seorang pemuda bernama 'Wan Nian'. Saya kutipkan dari web dinaviriya.com, sebagai berikut ceritanya:

Zaman dulu di daratan China ada seorang pemuda yang bernama “Wan Nian [万年] ” melihat kekacauan perhitungan musim pada saat itu, muncullah niat untuk memperbaiki cara perhitungan musim agar lebih akurat. 

Suatu hari, Pemuda tersebut lelah bekerja dan duduk di bawah pohon untuk istirahat. Dia kemudian terinspirasi oleh Bayangan Pohon yang bergerak sehingga menciptakan suatu alat untuk memantau pergerakan bayangan matahari agar dapat mengetahui dan mengukur waktu dalam satu hari. Kemudian, tetesan air dari tebing juga menginspirasikan dia untuk menciptakan alat bertingkat lima  yang bernama “Wu Ceng Lou Hu [五层漏壶]” untuk mengukur waktu. 

Dengan Alat-alat yang diciptakannya, dia menemukan bahwa masing-masing Musim akan berulang kembali setiap 360-an hari. Raja pada saat itu bernama “Zu Yi [祖乙]”  juga sering dipusingkan dengan masalah situasi perubahan musim yang tidak dapat diprediksi. Pemuda “Wan Nian” kemudian membawa alat-alat ciptaannya untuk menemui sang Raja. 

Raja Zu Yi sangat gembira mendengarkan penjelasan-penjelasan tentang perhitungan perubahan musim yang ditemukan oleh Wan Nian dan meminta Wan Nian untuk tinggal di Istana. Sang Raja membangun sebuah bangunan yang bernama “Ri Yue Ge” atau “Pavilion Matahari Bulan” untuk mengetahui hukum alam tentang hari dan bulan. Dapat mengetahui lebih akurat waktu Fajar dan Senja setiap harinya, menciptakan Kalender untuk kepentingan dan kesejahteraan Rakyatnya.

Suatu hari, Sang Raja pergi ke Pavilion Matahari Bulan (Ri Yue Ge) untuk mengetahui lebih jelas mengenai perkembangan pembuatan Kalender, beliau melihat sebuah puisi yang terukir di sisi pavilion Matahari Bulan :

万年诗

Terjemahan ke bahasa Indonesia kira-kira seperti ini :

Matahari terbit dan Tenggelam selama tiga ratus enam puluh, dan terus menerus berulang. Rumput dan Pohon layu mekar terbagi menjadi empat musim, terdapat 12 kali bulan purnama

Mengetahui Wan Nian sudah berhasil, Sang Raja langsung pergi menemui Wan Nian yang berada di Pavilion tersebut. Wan Nian menunjukkan perbintangan dan berkata kepada Raja Zu Yi, “sekarang 12 bulan sudah penuh, satu tahun sudah selesai, Musim Semi yang kembali lagi. Wan Nian kemudian meminta Raja Zu Yi untuk menentukan Hari Raya yang dimaksud tersebut. Raja Zu Yi kemudian berkata : “Sekarang adalah Musim Semi yang juga merupakan Musim pertama dalam satu Tahun, maka kita sebut saja Hari Raya Musim Semi”. Itulah asal usul pertama munculnya Hari Raya Musim Semi atau Tahun Baru Imlek yang kita kenal sampai saat ini.

Perayaan Imlek di Indonesia

Dalam buku Kepingan Narasi Tionghoa Indonesia: The Untold Histories (2020, hlm 58) karya Hendra Kurniawan, dituliskan bahwa sebelum Imlek, orang Tionghoa Indonesia akan membersihkan rumah dari sampah dan debu. Tujuannya adalah untuk mempersiapkan diri agar seseorang bersih secara lahir batin pada hari tahun baru nanti.
Jika di negara asalnya, Tiongkok, Imlek adalah untuk merayakan musim semi, hal ini berbeda dengan situasi di Indonesia. Perayaan Imlek biasanya jatuh pada bulan Januari atau Februari yang ditandai dengan curah hujan yang cukup lebat dan biasanya pas saat panen buahan. Sehingga mitos yang seringkali dikenal di Indonesia terkait dengan dengan perayaan Imlek adalah jika pada malam sebelum Imlek terjadi hujan yang deras, maka rejeki ditahun mendatang ada harapan akan sederas hujan yang turun. Sebaliknya jika pada malam menjelang Imlek tidak ada hujan atau kering-kerontang, maka rejeki yang didapat tahun depan kemungkinan akan seperti itu juga. Ini semua tergantung keyakinan ya sebenarnya...

Terlepas dari mitos-mitos diatas, perayaan Imlek sudah seharusnya menjadi momentum mengungkapkan syukur atas segala kebaikan alam. Dari hal tersebut kemudian perayaan Imlek akan diikuti tradisi-tradisi seperti, tradisi pada bulan ketiga penanggalan Imlek (Sha Gwee), yakni Ceng Beng (Qing Ming) atau bersih kubur. Ceng Beng artinya bersih dan terang. Ceng artinya bersih, sementara Beng berarti terang. Pada saat Ceng Beng ini, masyarakat Tionghoa tidak hanya membersihkan rumah, tetapi juga membersihkan kuburan leluhur. Tujuannya adalah sebagai bentuk rasa hormat kepada leluhur yang sudah meninggal. Setelah merayakan Tahun Baru Imlek atau Sincia, lima belas hari kemudian mereka akan menggelar Cap Go Meh sebagai penutup rangkaian perayaan.

Mengingat bahwa orang keturunan Tionghoa di Indonesia kemudian menganut berbagai macam agama, ada yang masih menganut Buddha, Tao, Kong Hu Chu, ada yang Kristen, ada yang Katolik, ada yang Muslim, maka Perayaan Imlek ini semestinya dimaknai sebagai Perayaan Tradisi. Perayaan Tradisi Tionghoa yang berpangkal pada ungkapan syukur untuk  pergantian tahun dan sekaligus mengucap doa untuk harapan di tahun yang akan datang.


Wàn shì rú yì

Post Navi

Post a Comment

0 Comments

Close Menu