Imlek, Arti dan Tujuan Perayaannya
Imlek berasal dari Dialek Hokkian, IM yang artinya Lunar atau bulan dan LEK yang artinya Kalender. Dalam Dialek Mandarin, Imlek disebut Yin li (阴历) yang berarti Lunar Calender atau Kalender Lunar atau penanggalan yang disusun dan dhitung berdasarkan peredaran bulan. Istilah Imlek ini hanya ada di Indonesia karena di setiap masing-masing negara punya istilah lain ( secara tradisional disebut Yuan Dan/元旦 atau Zheng Ri/正日, di Vietnam, disebut Tết Nguyên Đán/節元旦 dan di Korea, 설날) untuk menyebut Tahun Baru China atau mungkin lebih dikenal dengan istilah Festival Musim Semi (Spring Festival//春節) di China.
Mitos dan Cerita di Balik Perayaan Imlek
Sama halnya dengan perayaan-perayaan tradisional di China yang penuh dengan cerita mitos, Festival Musim Semi ini memiliki banyak mitos. Dan yang paling populer adalah mitos Raksasa 'Nian'.
Ceritanya begini...
- Pada malam yang bersangkutan, setiap keluarga menyiapkan makanan untuk makan malam lebih awal dari biasanya, sehingga tidak ada lagi kegiatan masak memasak di dapur.
- Menutup dan mengunci semua pintu baik pintu depan maupun pintu belakang.
- Sembunyi dirumah untuk makan malam bersama keluarga atau disebut dengan “Nian Ye Fan”. Karena makan malam ini sangat berbahaya dan beresiko, maka makan malam tersebut akan lebih enak dan special.
- Mempersembahkan makanan kepada Dewa dan para leluhur untuk mendapatkan lindungan dari mereka supaya dapat bebas dari ancaman Raksasa Nian.
- Saat Makan, semua anggota keluarga duduk membentuk lingkaran sebagai lambang keharmonisan keluarga.
- Setelah Makan Malam, siapapun tidak berani tidur dan semua anggota keluarga duduk berdekatan supaya tidak takut hingga Fajar, Ayam berkokok menandakan sudah bebas dari ancaman Raksasa Nian.
Dengan demikian kebiasaan Makan malam dan tradisi untuk tidak tidur pada malam Tahun Baru Imlek tersebut berlangsung hingga kini dan menjadi Tradisi Khas Tahun Baru Imlek meskipun saat ini sudah tidak ada ancaman Raksasa Nian lagi. Perasaan takut dan kuatir sudah tidak ada lagi, yang ada adalah perasaan senang, bahagia dan penuh harapan.
Zaman dulu di daratan China ada seorang pemuda yang bernama “Wan Nian [万年] ” melihat kekacauan perhitungan musim pada saat itu, muncullah niat untuk memperbaiki cara perhitungan musim agar lebih akurat.
Suatu hari, Pemuda tersebut lelah bekerja dan duduk di bawah pohon untuk istirahat. Dia kemudian terinspirasi oleh Bayangan Pohon yang bergerak sehingga menciptakan suatu alat untuk memantau pergerakan bayangan matahari agar dapat mengetahui dan mengukur waktu dalam satu hari. Kemudian, tetesan air dari tebing juga menginspirasikan dia untuk menciptakan alat bertingkat lima yang bernama “Wu Ceng Lou Hu [五层漏壶]” untuk mengukur waktu.
Dengan Alat-alat yang diciptakannya, dia menemukan bahwa masing-masing Musim akan berulang kembali setiap 360-an hari. Raja pada saat itu bernama “Zu Yi [祖乙]” juga sering dipusingkan dengan masalah situasi perubahan musim yang tidak dapat diprediksi. Pemuda “Wan Nian” kemudian membawa alat-alat ciptaannya untuk menemui sang Raja.
Raja Zu Yi sangat gembira mendengarkan penjelasan-penjelasan tentang perhitungan perubahan musim yang ditemukan oleh Wan Nian dan meminta Wan Nian untuk tinggal di Istana. Sang Raja membangun sebuah bangunan yang bernama “Ri Yue Ge” atau “Pavilion Matahari Bulan” untuk mengetahui hukum alam tentang hari dan bulan. Dapat mengetahui lebih akurat waktu Fajar dan Senja setiap harinya, menciptakan Kalender untuk kepentingan dan kesejahteraan Rakyatnya.
Suatu hari, Sang Raja pergi ke Pavilion Matahari Bulan (Ri Yue Ge) untuk mengetahui lebih jelas mengenai perkembangan pembuatan Kalender, beliau melihat sebuah puisi yang terukir di sisi pavilion Matahari Bulan :
Terjemahan ke bahasa Indonesia kira-kira seperti ini :
Matahari terbit dan Tenggelam selama tiga ratus enam puluh, dan terus menerus berulang. Rumput dan Pohon layu mekar terbagi menjadi empat musim, terdapat 12 kali bulan purnama
Perayaan Imlek di Indonesia
Terlepas dari mitos-mitos diatas, perayaan Imlek sudah seharusnya menjadi momentum mengungkapkan syukur atas segala kebaikan alam. Dari hal tersebut kemudian perayaan Imlek akan diikuti tradisi-tradisi seperti, tradisi pada bulan ketiga penanggalan Imlek (Sha Gwee), yakni Ceng Beng (Qing Ming) atau bersih kubur. Ceng Beng artinya bersih dan terang. Ceng artinya bersih, sementara Beng berarti terang. Pada saat Ceng Beng ini, masyarakat Tionghoa tidak hanya membersihkan rumah, tetapi juga membersihkan kuburan leluhur. Tujuannya adalah sebagai bentuk rasa hormat kepada leluhur yang sudah meninggal. Setelah merayakan Tahun Baru Imlek atau Sincia, lima belas hari kemudian mereka akan menggelar Cap Go Meh sebagai penutup rangkaian perayaan.
Mengingat bahwa orang keturunan Tionghoa di Indonesia kemudian menganut berbagai macam agama, ada yang masih menganut Buddha, Tao, Kong Hu Chu, ada yang Kristen, ada yang Katolik, ada yang Muslim, maka Perayaan Imlek ini semestinya dimaknai sebagai Perayaan Tradisi. Perayaan Tradisi Tionghoa yang berpangkal pada ungkapan syukur untuk pergantian tahun dan sekaligus mengucap doa untuk harapan di tahun yang akan datang.
Wàn shì rú yì
0 Comments