Akhir-akhir ini dunia pendidikan kembali menjadi sorotan setelah MendikbudRistek Nadiem Makariem mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Peraturan ini seolah-olah dikeluarkan setelah RUU TPKS (Tindak Pidana Kejahatan Seksual) menemui jalan buntu dan jalan ditempat.
Ada beberapa pihak yang menyatakan bahwa Permendikbud tersebut merupakan 'jiplakan' dari RUU TPKS, walaupun Ketua Panitia Kerja RUU TPKS, Willy Aditya menjelaskan bahwa dalam RUU TPKS tidak mencantumkan frasa sexual consent (seks dengan persetujuan) didalamnya.
21 Tindakan Yang Masuk Kategori Tindakan Kekerasan Seksual
- Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh dan atau identitas gender korban
- Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan atau siulan yang bernuansa seksual kepada korban
- Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban.
- Menatap korban dengan nuansa seksual dan atau tidak nyaman.
- Mengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio dan atau videobernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban.
- Mengambil, merekam dan atau mengedarkan foto dan atau rekaman audio dan atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
- Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban
- Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
- Mengintip atau dengan sengaja melihat korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi
- Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban
- Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual
- Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban
- Membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban
- Memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual
- Mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual
- Melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi
- Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin
- Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi
- Memaksa atau memperdayai korban untuk hamil
- Membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau
- Melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya
Hal Yang Menyulitkan Implementasi Permendikbud 30 2021
Mengingat penerapan Peraturan ini nantinya akan menyasar Kampus yang (merasa) memiliki Hak Otonomi Kampus, Hak Otonomi Kampus sendiri mengandung pengertian dimana kampus memiliki independensi atau kebebasan dalam mengambil keputusan dan merumuskan kebijakan yang menyangkut pengelolaan administrasi, keuangan, pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, kerja sama dan aktivitas lain yang berkaitan, tanpa campur tangan (intervensi) pemerintah atau kekuatan lain. Tentunya Permendikbud tersebut tidak akan bisa secara efektif melakukan segala hal yang harus dilakukan menyangkut Tindak Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus tanpa adanya kolaborasi pihak Kampus sendiri.
Disini pentingnya Civitas Akademika Kampus untuk mau menyadari bahwa ancaman degradasi moral akibat praktek budaya 'Bibir Mana Bibir...' (Budaya Pelecehan Mahasiswa/Mahasiswi oleh dosennya) memang nyata ada. Seperti budaya 'Wani Piro....' yang kemudian menjadi hal yang jamak terjadi. Di satu pihak ada yang membutuhkan bantuan agar bisa berhasil akademisnya, di pihak lain ada (banyak) predator yang dengan suka ria membantu....asal harga pas ya tancap gas....asal mau digituin gampang dapat nilai bagus dan lulus cumlaude, meskipun isi otaknya tidak mendukung. Ini arti Sexual Consent yang sesungguhnya, Korban yang mentolelir perbuatan dan tidakan oknum dosen, oknum dekan, oknum rektor yang memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan kesenangan seksual gratisan.
Faktor lain yang juga menyulitkan adalah jika kemudian Korban malah akhirnya dijadikan pelaku tindakan, dengan dilaporkan balik ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik. Seringkali hal ini yang kemudian membuat korban untuk melapor atau sekedar bercerita, entah pada satgas atau pada teman, atau pada keluarga atau pada pihak yang berwenang. Seperti yang terjadi akibat video pengakuan `Bibir Mana Bibir...', sang dosen yang tidak terima dengan pengakuan korban dalam video yang diunggah di medsos lalu mencoba memulihkan nama baiknya dengan cara membuat laporan pencemaran nama baik dan menuntut ganti rugi 10 Milliar. Ternyata nama baiknya itu dihargai cuma  10 Milyar tho....kasian sekali bapak itu.Â
Padahal ya ibarat kata pepatah, tidak ada asap jika tidak ada api dan sepandai-pandainya tupai melompat suatu saat bisa jatuh juga....
Kalau menurut saya pribadi, ya dengan tidak menutup mata dari berbagai macam kompromi yang dibutuhkan dan bisa terjadi, setidaknya Permendikbud ini menjadi tonggak penting bahwa senyatanya memang ada pendidik yang kelakuannya tidak terdidik yang kemudian memanfaatkan kesempatan saat punya kuasa untuk memperoleh kesenangan seksual secara gratisan. Walaupun tidak terlepas kemungkinan ada juga oknum mahasiswa yang berusaha mencari jalan pintas yang relatif mudah untuk mendapatkan nilai terbaik tanpa susah-susah.
Segalanya kemudian akan kembali pada moral dan etika sih....dan bagaimana masing-masing individu dalam Kampus tersebut menjaga integritas serta kehormatan diri dan profesinya.
Jadi bukan kemudian legalisasi sex bebas di kampus tho.....kalo ada yang ngomong gitu mungkin dia tidak punya anak perempuan yang sering kali bisa saja berada diposisi jadi korban.
0 Comments