Seberapa tinggi jabatanmu di sebuah perusahaan, jika itu bukan perusahaan milikmu atau milik bapakmu atau milik embahmu, suatu saat pasti akan sampai pada satu titik. Titik itu akan berjudul Resign atau Pensiun atau Putus Hubungan Kerja, tidak ada lagi koma....pokoknya berhenti, titik. Pada saat tiba di titik tersebut, untuk pekerja swasta...apapun jabatannya...mau Manager, mau CEO, mau Direktur Utama sekalipun, semua fasilitas, tunjangan, aliran upah dan segala kenyamanannya akan berhenti, titik. Bahkan tunjangan pensiunpun mungkin gak akan ada....
Tidak ada lagi upah yang masuk ke rekening setiap tanggal 25 atau setiap awal bulan. Tidak ada lagi mobil dinas mentereng dan kinclong dengan sopir pribadi yang sigap membukakan pintu serta bensinnya bisa di reinburst ke perusahaan setiap saat. Tidak ada lagi fasilitas kartu kredit perjalanan dinas, kartu anggota gala dinner atau kartu asuransi kesehatan dan kartu-kartu lain seperti e-Toll yang tinggal gesek tanpa mikir bagaimana saldonya tetap full setiap awal bulan.

Petani...iya pak Tani yang tiap pagi subuh-subuh sudah berangkat ke sawah nyangking pacul dan gluprut bermain lumpur. Yang semata-mata agar sampeyan-sampeyan semua para pecinta kuliner nusantara (pemakan/penikmat beras) bisa makan enak dan tidur nyenyak. Demi sampeyan yang ketika harga beras merangkak naik, dengan nyaringnya teriak imprat import walo masalahnya sebenarnya mahalnya harga beras karena ditimbun tengkulak urusan logistik.

Meniti karir di PT. Indonesia Stanley Electric selama kurang lebih 8 tahun (2002 - 2010) hingga menjabat Section Manager Production Planning Control (PPC, Divisi yang mengatur ritme kerja dan jadwal produksi di sebuah pabrik manufaktur), dengan gaji (ini cuma perkiraan saya ya...mungkin) menyentuh angka puluhan juta per bulan, kurang mapan apa coba. Saya percaya kalo mas Mbering masih bertahan di PT. ISE bukan tidak mungkin karirnya akan terus berkembang dan pendapatan (gaji) akan terus meningkat....karena tiap tahun kan upah karyawan (hampir bisa dipastikan) meningkat sesuai dengan penilaian prestasinya. Tapi kan hidup adalah pilihan ya....Â
Dari Manager Pabrik Jadi Petani

Dan kenyataan yang di temuinya kemudian lebih mengejutkannya lagi, bahwa ternyata mayoritas petani itu hanyalah buruh tani. Yang artinya Petani yang tidak punya sawah, tidak punya modal benih, tidak punya akses penyaluran pupuk subsidi apalagi punya kerbau untuk membajak sawah. Para Petani inipun seringkali menerima upah kerjanya berupa bagi hasil panennya...nanti pada saat padi sudah menguning dan layak panen.Â


Mas Mbering menceritakan, keputusan untuk keluar dari perusahaan dan menjadi petani bukanlan hal yang mudah. Salah satunya adalah bagaimana caranya meyakinkan keluarganya bahwa menjadi petani juga bisa memberikan kemapanan baik secara finansial maupun kepastian hidup.
Termotivasi dari rasa prihatin atas kondisi bahwa masih banyak orang yang berpikir jadi Petani itu Ndeso karena orang melihat bahwa dunia pertanian itu tidak menarik, susah, miskin, rekoso dan banyak kesengsaraan lain. Padahal tanpa orang-orang itu sadari bahwa setiap hari mereka sangat membutuhkan dan terikat erat dengan hasil pertanian.

Satu hal yang membuat mas Mbering pantang mundur dan maju terus menghidupi mimpinya mengembangkan dunia pertanian adalah keyakinan bahwa dunia pertanian itu punya masa depan yang baik, hasil dari pertanian sangat bisa memberikan kehidupan yang sangat layak dan yang paling penting jadi petani itu bisa membuat hidup lebih bahagia, begitu katanya. Tidak mudah memang, tapi bukan tidak mungkin....
Coba Gagal, Coba Gagal dan Coba Lagi
Sekitar tahun 2010 adalah awal pertama percobaan mas Mbering menanam padi. Namanya baru coba-coba dan tidak ada guru yg meng-guidenya, ia mengalami gagal panen pertama kalinya dan kerugiannya mencapai puluhan juta.
Kerugian yang mencakup biaya sewa lahan, pembelian benih, pembelian pupuk dan lain-lain itu, ditanggung sendiri oleh pria asal Kecamatan Wedi, Klaten tersebut.
'Saya tidak punya lahan sawah sendiri, jadi saya berusaha mencari lahan sawah yang disewakan oleh warga. Setelah dapat lahan, saya mencoba menanam padi," jelasnya.
Namun gagal panen tersebut tidak menyurutkan semangat mas Mbering untuk tetap bertani.
Ia pun kemudian menguras tabungan pribadi Rp 80 juta dan menjual mobil Rp 100 juta untuk modal bertani. Uang itu dipakai untuk sewa lahan hingga membeli pupuk.
Dan keberaniannya itu terbayar 'Waktu itu bisa panen 60 ton dan saya untung lumayan. Lalu saya coba tanam dan gagal panen karena musim hujan. Tapi juga pernah gagal karena hujan terus-menerus dan tidak ada beras yang bisa dijual' kenang mas Mbering.

Strategi Penjualan Hasil Panen

'Saya jual beras produksi awal saya dari ke rumah-rumah dan ke teman-teman saya, kadang bolak-balik Jakarta-Solo untuk menawarkan beras," kata mas Mbering. Dengan dikenalnya beras wuluh mas Mbering (cap Petani Muda dan Rojowali) di kalangan Alumni Mikael, kemudian network Ikatan Alumni Mikael (IKAMI), tergerak membuatkan packaging khas dan khusus IKAMI sehingga cukup membantu mas Mbering untuk memperluas pemasaran beras wuluhnya.Â


Jaringan pemasaran Beras Wuluh IKAMI (hasil produksi mas Mbering) dilakukan dengan sistem indent....emang mobil saja yang bisa indent....hehehe. Teman-teman alumni yang berminat mencicipi beras mas Mbering bisa melakukan pemesanan melalui Sekretariat IKAMI Solo dan Sekretariat IKAMI Cikarang. Yang kemudian akan di lakukan pengaturan Deliverynya oleh Pengurus IKAMI setempat.

Inspirasi dan Vokasi Tanpa Henti


Sadar bahwa dirinya bisa menjadi Inspirasi, maka kemudian mas Mbering mencoba membuat satu skema Sistem Tani Binaan. Sistem ini direncanakan sedemikian rupa agar para petani sekitarnya atau siapa saja yang berminat untuk terjun bebas menjadi petani, bisa langsung praktek dan mengikuti pola pengolahan tanah seperti yang sudah dijalankan mas Mbering.Â


- Modal garapan, kalau perlu/membutuhkan akan dipinjami mas Mbering
- Kebutuhan benih dan pupuk tersebut dipinjami dengan tujuan supaya benih dan pupuk terjamin kualitasnya dan sama dengan yang digunakan oleh mas Mbering
- Teknik pengolahan tanah untuk mereka (petani tradisional) yang belum mengenal tentang pupuk hayati akan disubsidi (dibuatkan komposisinya) dengan detail kurang lebih : Komsah Sersah Daun Jati 30 karung, Sekam Bakar 15 karung, Pupuk Hayati 12 liter, Pestisida organik 6 liter (+ susu bubuk) dan NPK Mutiara 50kg Grower.
- Yang paling penting adalah Pembelian hasil Panen dengan harga yang lebih tinggi dari tengkulak

Nah, jika misalnya dalam satu komplek Perumahan (dikota) di huni diatas 2000 KK, yang setiap bulannya mengkonsumsi beras 15 kg sampai 20 kg, maka dalam satu perumahan tersebut potensi kebutuhan berasnya sekitar 40.Ton (40.000 kg) beras per bulannya. Dengan potensi seperti itu seandainya rantai distribusi beras kemudian dibenahi, bukan tidak mungkin beras lokal dari petani lokal yang lebih sehat dan terjaga mutu kualitasnya bisa menjadi penopang kebutuhan beras nasional, ya minimal kebutuhan beras dari satu perkampungan-lah.

Lalu bagaimana mengenali kualitas beras yang bagus (menyehatkan) ? Beras yang bagus adalah beras dengan kulit ari yang masih bagus, air cucian berasnya masih putih, hasil nasinya setelah dimasak lebih tahan lama, pulen, wangi dan nasinya berwarna putih.

Dan kembali ke tujuan awalnya, bertani dengan tujuan jadi Man for Others dan Nggo Golek Sangu Mulih (Mencari bekal untuk 'Pulang'), mas Mbering dan bah Hengky cukup senang dan bahagia melihat para Petani Binaan-nya, sangat bersyukur dan berterima kasih sekali tatkala hasil panennya dihargai lebih tinggi dari petani pada umumnya.

0 Comments