Kampung Pulo dan Candi Cangkuang | Jejak Cerita Setelah Gagalnya Penyerangan Mataram 1628 ke VOC Batavia di Garut

Baru-baru ini ada cerita kerajaan-kerajaanan yang sedang ramai dibicarakan netijen saat ini. Tentang seseorang yang (katanya) dapat wangsit untuk melanjutkan hegemoni Kerajaan Majapahit, tapi koq lokasinya jauh sangat dari pusat kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit pusatnya (diyakini) berada di Trowulan, sedang kerajaan yang baru di launching ada di Purworejo, Jawa Tengah....nyambungnya dari arah mana coba ??

Ya sudahlah ya...biarkan saja orang-orang yang sedang berhalusinasi itu memainkan perannya.

Artikel ini 100% tidak ada hubungannya dengan cerita itu. Mungkin persamaannya adalah koq bisa ada makam Senopati (Panglima) Prajurit Mataram (Yogyakarta - sekarang) tapi lokasinya di pelosok Garut, Jawa Barat....kan Yogyakarta dan Garut itu sangat jauh ya....

Ternyata ada cerita yang bisa menghubungkan dan berlatar belakang sejarah. Cerita sejarah ini sangat dikenal tentang Penyerangan Kerajaan Mataram yang saat itu rajanya adalah Sultan Agung ke VOC di Batavia yang saat itu Gubernur Jendralnya Jan Pieterszoon Coen.

Begini ceritanya...

Embah Dalem Arief Muhammad dan Kampung Pulo

Konon, Arif Muhammad adalah salah satu Senopati atau Komandan Pasukan Mataram Islam yang ditugaskan Sultan Agung Mataram untuk memimpin pasukan darat dalam penyerangan Kerajaan Mataram Islam ke Batavia tahun 1628.
Menurut sejarah, Pasukan darat dalam penyerangan Mataram ke Batavia, didipimpin oleh Dipati Ukur yang terdiri dari 9 umbul bergerak dari arah Priangan (Sunda)...nah mungkin Arif Muhammad tersebut adalah salah satu pemimpin pasukannya Dipati Ukur. 
Penyerangan Mataram ke VOC di Batavia gagal, pasukan Mataram dikalahkan dan terdesak mundur. Mungkin pada saat itu, pasukan Dipati Ukur terpecah dalam pelariannya. Pasukan Mataram yang kalah perang tersebut tidak berani kembali lagi ke Mataram, karena Sultan Agung memutuskan mengirim algojo untuk menghukum mati pasukan yang dianggap gagal menaklukan Batavia dan tidak bertempur mati-matian. VOC diceritakan menemukan 744 mayat pasukan Mataram yang sebagian besar tanpa kepala di hutan belukar (saat ini lokasinya di sekitar RS. Husada, Mangga Besar).

Dipati Ukur kemudian memutuskan untuk bersembunyi di Gunung Pongporang yang terletak di Bandung Utara. Nah, mungkin Arif Muhammad dan beberapa pengikutnya yang berpisah dari induk pasukan mencoba mencari tempat persembunyian yang lebih jauh lagi hingga akhirnya mereka sampai di Priangan Timur, lembah sekitar Gunung Haruman, Garut.
Eh tapi ini asumsi saya lho...hehehehe.

Di tempat persembunyiannya, Arif Muhammad berinisiatif membuat bendungan sehingga terbentuk Situ (Danau) yang kemudian dinamakan Situ Cangkuang. Ditengah-tengah air yang terkumpul dan menjadi sebuah Situ (Danau), terdapat beberapa pulau kecil yang dulunya merupakan bukit-bukit kecil. Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Panjang, dimana terdapat sebuah perkampungan yang dinamakan Kampung Pulo. Selain itu ada Pulau Wedus, Pulau Gede, Pulau Leutik, Pulau Katanda dan Pulau Masigit. Saat ini hanya tinggal bagian utara Kampung Pulo saja yang masih berupa danau, di sebelah selatan sudah berubah menjadi lahan persawahan. Jadi mungkin maksud awalnya dibuat Situ (Danau) tersebut adalah untuk mempersulit pengejaran dari orang-orang Mataram yang berusaha mencari dan menemukan Arif Muhammad.
danau cangkuang
Situ Cangkuang - dok. pribadi
Situ Cangkuang tersebut memiliki kedalaman kurang lebih 1,5 meter (mungkin dulu lebih dalam) dan untuk bisa menyeberanginya di perlukan rakit yang didorong dengan galah (batang bambu).
Replika Rakit Cangkuang

Di Pulau Panjang tersebut Arif Muhammad menetap dan mulai menyebarkan agama Islam kepada penduduk di sekitar Desa Cangkuang, yang saat itu masih memeluk kepercayaan animisme-dinamisme (atau mungkin Hindu ?). Di Pulau Panjang ini terdapat Kampung Pulo yang ditetapkan sebagai Kampung Adat karena ada larangan-larangan yang harus di patuhi Masyarakat Kampung Pulo.
Adat Kampung pulo
Larangan Adat Kampung Pulo - dok.pribadi
Ada cerita dan alasan dibalik Larangan Adat yang ditetapkan di Kampung Pulo ini, seperti misalnya :
  • Larangan untuk Berziarah di Hari Rabu. 
  • Hal tersebut ditetapkan karena dulu (saat masyarakat sekitar masih memeluk aliran animisme-dinamisme / Hindu) dipercaya bahwa hari terbaik untuk menyembah patung adalah pada hari Rabu. Sementara pengikut Embah Arif Muhammad dan masyarakat Kampung Pulo beragama Islam, dan menyembah patung adalah hal yang musryk. Maka kemudian untuk mencegah itu ditetapkanlah bahwa hari Rabu adalah hari yang baik untuk mengadakan pengajian atau berkumpul untuk memperdalam ilmu keagamaan. Sehingga sampai sekarang, pada hari Rabu masyarakat Kampung Pulo tidak diperbolehkan melakukan kegiatan lain apapun selain kegiatan untuk memperdalam ilmu keagamaan, termasuk kegiatan berziarah ke makam Embah Dalem Arif Muhammad-pun dilarang untuk dilakukan di hari Rabu. Menurut kepercayaan, jika larangan ini dilanggar, maka bisa menimbulkan hal-hal buruk yang terjadi di Kampung Pulo
  • Dilarang memukul atau menabuh Gong Besar dari Perunggu. 
  • Hal ini terkait dengan kisah meninggalnya anak laki-laki Embah dalem Arif Muhammad yang celaka saat diarak tandu dengan iringan bunyi gamelan yang menggunakan Gong Besar. Ketika itu, anak laki-laki Embah Arif Muhammad disunat, dan seperti lazimnya maka diadakan pesta perayaan dengan diiringi musik gamelan dan gong. Pada saat gamelan mulai ditabuh, tiba-tiba ada angin besar yang menjatuhkan si anak laki-laki yang sedang duduk didalam tandu berbentuk prisma, dan akhirnya si anak tersebut meninggal dunia. Sejak itu dibuatlah larangan tentang menabuh gong besar tersebut.
  • Tidak Boleh membuat rumah beratap Jure/Prisma, selamanya harus memanjang. 
  • Aturan ini masih berkaitan dengan kisah meninggalnya si anak laki-laki Eyang Arif Muhammad, karena bentuk tandu yang kemudian menewaskan si anak laki-laki tersebut atapnya berbentuk prisma.
rumah adat kampung pulo garut
Replika Rumah Adat Kampung Pulo - dok. Pribadi
  • Tidak Boleh Menambah, Mengurangi Bangunan Pokok dan Kepala Keluarga. 
  • Cikal bakal Kampung Pulo adalah dari 6 anak perempuan Eyang Arif Muhammad dan 1 anak laki-laki. Ke-6 anak perempuan tersebut dibuatkan 6 bangunan rumah dan 1 anak laki-laki (yang meninggal saat disunat) kemudian dibuatkan 1 masjid sebagai perlambang. Ke enam rumah tersebut dibangun berdampingan memanjang berhadapan 3 rumah di sebelah kanan dan 3 rumah di sebelah kiri jalan, dan 1 masjid yang terletak di bagian depan.
rumah adat kampung pulo cangkuang garut
Salah satu Rumah Adat Asli Kampung Pulo - dok. Pribadi
    Di Kampung Pulo, tidak boleh menambah Kepala Keluarga, yang artinya di Kampung Pulo saat ini hanya ada 6 Kepala Keluarga yang merupakan generasi kedelapan, kesembilan dan kesepuluh dari keturunan Embah Arif Muhammad. Jadi misalnya ada anaknya yang menikah, maka anak tersebut, paling lama 2 minggu, harus keluar dari komplek Kampung Pulo. Kecuali nanti ada orang tuanya yang meninggal, si anak baru boleh kembali lagi (ke Kampung Pulo) untuk mengisi kekosongan.Mereka yang tinggal di Kampung Pulo ini adalah untuk menjaga kelestarian adat, jadi yang tinggal disini sebisa mungkin jangan sampai keluar meninggalkan Kampung Pulo.
kampung pulo, cangkuang garut
Bentuk lain Rumah Adat Kampung Pulo - dok. Pribadi
  • Tidak Boleh Memelihara Hewan Ternak Besar Berkaki Empat.
  • Masyarakat Kampung Pulo tidak dilarang untuk memakan hewan ternak berkaki empat seperti kambing, sapi atau kerbau. Yang dilarang adalah beternak hewan-hewan tersebut di Pulau Panjang atau Kampung pulo, karena masyarakat Kampung Pulo mencari nafkah dengan cara bertani dan berkebun. Jadi jika ada yang beternak kambing atau sapi atau kerbau, dikhawatirkan akan merusak tanaman yang ditanam dan juga dikhawatirkan kotorannya akan mengotori makam-makam leluhur Kampung pulo yang banyak disekitar dan berdekatan dengan makam Embah Arif Muhammad.
embah dalem arief muhammad, cangkuang
Makam Embah Dalem Arif Muhammad - dok. Pribadi
Untuk bisa sampai di Pulau Panjang, dimana ada Kampung Pulo dan Candi Cangkuang, pengunjung harus menaiki rakit-rakit yang sudah disiapkan. Tarif untuk menaiki rakit dan menyeberang Situ Cangkuang sebesar Rp. 5000,-
Gerbang Rakit Penyeberangan di tambatkan

Candi Cangkuang dan Cerita Penemuannya

Sekitar 3 meter dari lokasi makam Embah Dalem Arif Muhammad terdapat sebuah Candi yang diperkirakan merupakan Candi Hindu yang dibangun pada abad VIII Masehi. Berdasarkan buku yang berjudul Notulen Bataviaach Genotscahap yang diterbitkan pada tahun 1893 dan dikutip dari catatan Vordermen, mengenai adanya makam kuno dan reruntuhan candi yang ditengah-nya ditemukan juga arca yang sudah rusak. Tahun 1966 dibentuk tim peneliti Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita dan mulai melakukan penelitian serta penggalian dan ditemukan 09 Desember 1966.
Informasi Mengenai Tahun Penelitian dan Pemugaran

Pada awal penelitian berhasil ditemukan reruntuhan batu sebuah bangunan (yang diperkirakan) candi dan makam kuno yang adalah makam Arif Muhammad yang dianggap penduduk setempat sebagai leluhur mereka. Selain itu ditemukan juga serpihan pisau serta batu-batu besar yang diperkirakan peninggalan jaman megalitikum. Pada penelitian selanjutnya tahun 1967 dan 1968, tim peneliti berhasil menggali bangunan makam. 

Ditengah reruntuhan bangunan candi di temukan juga sebuah arca yang diperkirakan sebagai arca Syiwa. Arca tersebut berbentuk orang yang bersila diatas padmasana ganda, kaki kanan arca menghadap ke bawah yang beralaskan lapik dan kaki kiri menyiku datar, dimana bagian telapak masuk ke dalam paha kanan. Di depan arca, tepatnya di depan kaki kiri arca, terdapat kepala nandi (seekor sapi dalam mitologi Hindu) dimana telinga nandi menghadap ke depan. Tangan arca ini berada di atas paha dengan menengadah dan pada bagian tubuh arca terdapat hiasan yang meliputi perut, dada dan telinga. Arca ini ditemukan dalam kondisi yang rusak parah, dengan bagian lengan tangan hilang dan wajah dari arca ini datar seperti tanpa ukiran. Ukuran arca ini tinggi 41 cm, ukuran wajah 8 cm dengan lebar pundak 18 cm dan lebar pinggang 9 cm. Dibawahnya terdapat padmasana dengan lebar 38 cm dan tinggi 14 cm. Ukuran lapiknya memiliki tinggi 6 cm dan 10 cm dengan lebar 37 cm dan 45 cm. Dari arca inilah kemudian disimpulkan bahwa candi yang berhasil ditemukan ini adalah candi Hindu yang beraliran Syiwa. 
candi cangkuang syiwa
Arca Syiwa Cangkuang

Disekitar arca ini banyak berserakan batu-batu andesit berbentuk balok-balok yang diyakini tim peneliti sebagai batu bagian dari candi. Hanya sayangnya balok-balok tersebut awalnya banyak yang dimanfaatkan penduduk Kampung Pulo untuk batu nisan, sehingga banyak batu-batu yang mungkin tadinya merupakan bangunan candi jadi beralih fungsi menjadi batu nisan.

Berdasarkan keyakinan tersebut, tim peneliti melakukan penggalian hingga ditemukan pondasi banguan yang diperkirakan sebuah candi berukuran 4,5 m x 4,5 m didekat makam Arif Muhammad. Dengan penemuan itu, tim Sejarah dan Lembaga Kepurbakalaan segera melakukan penelitian di daerah tersebut. Hingga tahun 1968 penelitian masih berlangsung.

Proses penggalian dan pemugaran candi dimulai pada tahun 1974 - 1975. Pada saat proses penggalian tahun 1974, kembali ditemukan batu-batu candi yang merupakan bagian kaki candi. Pelaksanaan rekonstruksi kemudian dilakukan hingga tahun 1976 yang meliputi kerangka badan, atap dan patung Syiwa. Dalam proses rekonstruksi, bebatuan asli dari bangunan candi ini hanya sekitar 40% sehingga selebihnya, bangunan candi ini dibuat dari adukan semen, pasir, batu koral dan besi.

Bangunan Candi Cangkuang yang saat ini bisa disaksikan adalah merupakan hasil pemugaran yang diresmikan pada tahun 1978. Bangunan ini hasil rekayasa konstruksi karena batu bangunan aslinya hanya 40% yang berhasil ditemukan dan diidentifikasi. Oleh sebab itu, bentuk bangunan Candi Cangkuang yang sebenarnya belumlah diketahui.
Gerbang menuju Candi Cangkuang - dok. Pribadi
Candi Cangkuang yang sekarang berdiri pada sebuah lahan persegi empat yang berukuran 4,7 m x 4,7 m dengan tinggi 30 cm. Kaki bangunan menyokong pelipit padma, pelipit kumuda dan pelipit pasagi yang berukuran 4,5 m x 4,5 m dengan tinggi 1,37 m. Tubuh bangunan candi bentuknya persegi empat 4,22 m x 4,22 m dengan tinggi 2,49 m. Disisi timur terdapat penampil tempat tangga naik yang panjangnya 1,5 m dan lebar 1,26 m.
Candi Cangkuang Hasil Rekayasa Konstruksi - dok. Pribadi
Di sisi utara terdapat pintu masuk yang berukuran tinggi 1,56 m x lebar 0,6 m. Pintu masuk ini diapit dinding yang membentuk bingkai pintu. Tidak ada hiasan pahatan pada bingkai pintu tersebut. Saat ini di ambang pintu masuk ruangan tersebut telah dipasang pintu  berterali besi.
pintu candi cangkuang
Pintu masuk ruangan candi yang di pasang pintu teralis besi - dok. Pribadi
Di dalam candi terdapat ruangan berukuran 2,18 m x 2,24 m yang tingginya 2,55 m. Ditengah-tengah ruangan terdapat arca Syiwa (yang ditemukan saat penggalian awal). Konon, didasarnya patung terdapat cekungan berukuran 0,4 m x 0,4 m yang dalamnya 7 m, namun hal itu tidak dapat dibuktikan karena pengunjung tidak diperkenankan masuk ke dalam ruangan patung tersebut. Ada mitos yang berkembang jika pengunjung bisa melempar uang sampai di pangkuan arca Syiwa tersebut, maka keinginannya bisa terkabul...tapi ya walahualam...walaupun banyak juga yang percaya karena disekitar arca tersebut terlihat banyak berserakan koin-koin mata uang logam.
Puncak candi ada dua tingkat: persegi berukuran 3,8 m x 3,8 m dengan tinggi 1,56 m dan 2,74 m x 2,74 m yang tingginya 1,1 m.

Museum Situs Cangkuang

Nama Cangkuang sendiri diambil dari nama pohon Cangkuang yang awalnya banyak terdapat disekitar Candi dan Kampung Pulo. Daun Cangkuang sendiri berbentuk seperti daun pandan (atau mungkin termasuk keluarga Pandan), yang sering digunakan sebagai bahan untuk membuat tudung, tikar dan pembungkus gula aren. Pohon Cangkuang termasuk tanaman langka dan tidak dibudidayakan orang karena nilai ekonomisnya yang kurang. Pohon cangkuang bisa berbuah dan katanya rasanya manis kalau sudah matang.
Pohon Cangkuang di sebelah Museum Situs Cangkuang
Di sebelah makam Embah Arif Muhammad dan Candi Cangkuang didirikan bangunan berbentuk Joglo dan difungsikan sebagai Museum. Dalam Museum ini di simpan Jejak Peninggalan Arif Muhammad yang berupa Kitab kuno yang berisi tentang ajaran Islam yang ditulis dengan huruf dan bahasa Arab. Yang menarik adalah keterangan dalam kitab-kitab kuno ini menggunakan bahasa Jawi, yaitu bahasa Jawa kuno (Sansekerta) yang berasimilasi dengan bahasa Arab. Ada juga Al-Quran yang terbuat dari daun lontar yang memiliki ukuran panjang 33 cm dan lebar 24 cm. Naskah-naskah kuno ini ditulis tangan di atas kulit kayu dan kulit kambing, seperti misalnya kitab ilmu fiqih yang berukuran panjang 26 cm dan lebar 18,5 cm, serta naskah khutbah Jum'at yang memiliki panjang hingga 1,76 m dan lebar 23 cm.
Naskah dan Kitab kuno di Museum Cangkuang
Selain naskah dan kitab kuno tersebut, Museum Cangkuang juga menyimpan penemuan hasil penggalian dan foto-foto proses pemugaran candi dan makam di situs Cangkuang.

Lokasi Situs Cangkuang

Situs Cangkuang, Candi Cangkuang dan Makam Embah Arif Muhammad, berada di Dukuh Pulo, Kelurahan Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Propinsi Jawa Barat dengan koordinat 106͒°54'36,79" Bujur Timur dan 7°06'09" Lintang Selatan.
Desa Cangkuang dikelilingi beberapa pegunungan di Jawa Barat, antara lain:
  • Gunung Keledong di sebelah utara
  • Gunung Mandalawangi di sebelah Barat - Utara
  • Gunung Haruman di sebelah Timur - Utara
  • Pasir Kedaleman di sebelah Timur - Selatan
  • Pasir Gadung di sebelah Selatan
  • Gunung Guntur di sebelah Selatan - Barat
  • Gunung Malang di sebelah Barat
Untuk mencapai Desa Cangkuang bisa menggunakan Kendaraan Pribadi ataupun Kendaraan Umum, dengan rute sebagai berikut :
  • Kendaraan Pribadi
  • Dari arah Jakarta sampeyan bisa melalui tol Cipularang, keluar pintu tol Cileunyi kemudian menyusuri Jalur Lintas selatan sampai Cagak Nagrek kemudian belok kanan menuju Garut. SAmpai di Kota Garut sampeyan mengikuti jalan hingga menemukan alun-alun Kecamatan Leles lalu belok kiri masuk jalan desa. Di arah menjuju jalan desa biasanya ada akang-akang yang dengan sigap langsung mengawal dan memandu kendaraan sampeyan seperti voorijder gitu deh...sampai di parkiran...yah tarifnya si akang ini sih sukarela aja...sekitar Rp 50.000,- lah
  • Kendaraan Umum
  • Jika sampeyan menggunakan kendaraan umum, maka sampeyan bisa naik bus menuju Garut lalu minta turun di alun-alun Kecamatan Leles. Dari alun-alun Leles sampeyan bisa naik andong menuju candi Cangkuang, atau bisa juga naik ojek...untuk tarifnya saya tidak tahu...hehehe...sampeyan bisa tanya GPS (Gunakan Penduduk Sekitar) untuk lebih akurat berapa ongkosnya...
Oke ya...semoga artikel ini bisa menginspirasi dan mengedukasi sehingga sampeyan tidak tertipu atau terprovokasi untuk bikin dan mendirikan kerajaan sendiri.
Have a nice trip...
Post Navi

Post a Comment

0 Comments

Close Menu