Desa Penglipuran | Dilarang Poligami Demi Mempertahankan Kebudayaan Nenek Moyang dan Leluhur

Gerbang Desa Penglipuran

Penglipuran berasal dari paduan kata 'Pengeling' dan 'Pura' yang kemudian bermakna Mengingat Pura, atau mengingat (mengenang) tempat suci para leluhur. 'Pengeling Pura' ini bisa dimaknai juga memberikan petunjuk (kepada masyarakatnya) bahwa terjadi hubungan yang sangat erat antara tugas dan tanggung jawab masyarakat dalam menjalankan dharma agama.

Struktur penataan kawasan desa Panglipuran inipun kemudian mengikuti konsep Tri Mandala (tri = tiga; mandala = wilayah/daerah) seperti Struktur konsep sebuah Pura. Konsep Tri Mandala sendiri merupakan perlambangan Tri Bhuwana yaitu Nista Mandala, Madya Mandala dan Utama Mandala. (Tentang Konsep Tri Mandala lebih lanjut bisa dibaca disini)
Filsafat hubungan yang selaras antara alam dan manusia, kearifan manusia mendayagunakan alam sehingga membentuk suatu ruang kehidupan yang harmonis antara manusia dan alam, terlihat jelas dalam area kawasan desa. Dari sini kemudian azas Tri Hita Karana tergambar jelas pada kesemua ragam bentuk yang dijabarkan pada kawasan desa ini.

Denah Desa Adat Penglipuran
Denah Desa Adat Penglipuran

Ada pendapat lain mengenai asal nama Penglipuran ini. Penglipuran berasal dari kata 'Penglipur' atau Pelipur yang artinya penghiburan, pendapat ini muncul karena Raja Bangli pada saat itu dikatakan sering mengunjungi desa ini untuk bermeditasi dan bersantai. Hal ini mungkin terkait dengan sejarah dan asal mula berdirinya Desa Penglipuran ini. Desa Penglipuran dipercaya mulai dihuni pada jaman I Dewa Gede Putu Tangkeban menjadi Anak Agung (Raja) Kerajaan Bangli. Hampir seluruh warga desa ini percaya bahwa mereka berasal dari Desa Bayung Gede, Kintamani. Dahulu orang Bayung Gede adalah orang-orang yang ahli dalam kegiatan agama, adat dan pertahanan. Karena kemampuannya, orang-orang Bayung Gede sering sering dipanggil ke Kerajaan Bangli. Nah, karena jarak antara desa Bayung Gede dan Kerajaan Bangli yang cukup jauh, akhirnya Kerajaan Bangli memberikan daerah pemukiman sementara agar orang Bayung Gede bisa beristirahat dalam perjalanannya. Tempat beristirahat inilah yang kemudian disebut Kubu Bayung, dan dipercaya sebagai desa yang mereka tempati sekarang. Dari situ kemudian orang-orang Penglipuran percaya bahwa alasan inilah yang menjelaskan adanya kesamaan peraturan tradisional serta struktur bangunan antara desa Penglipuran dan desa Bayung Gede.

Masyarakat, Budaya dan Keunikan Desa Penglipuran


Berdasarkan data administratif yang tercatat, Populasi Desa Penglipuran ada sekitar 985 individu yang tergabung dalam 234 keluarga. Data populasi dari masing-masing keluarga juga bisa dilihat pada papan data penghuni rumah yang terpasang di setiap gapura rumah. Keluarga-keluarga ini tersebar di 76 'Karang Kerti' (tempat pengabdian diri kepada Tuhan dengan kehidupan rumah tangga yang baik), dan 1 Karang Memadu (pekarangan khusus untuk masyarakat yang beristri lebih dari 1).

Angkul-angkul dan Pura Keluarga Desa Penglipuran
Angkul-angkul dan Pura Keluarga

Oh iya, di Desa Penglipuran berlaku norma yang melarang masyarakatnya memiliki lebih dari 1 istri. Jika seseorang mempunyai lebih dari satu istri, maka ia dan istri-istrinya harus pindah dari Karang Kerti ke Karang Memadu (masih didalam areal desa, tetapi bukan bagian utama desa). Karang memadu ini berada disebelah selatan desa, yang terpencil, sepi dan keramat. Hak dan kewajibannya sebagai warga Desa Adat Penglipuran juga dicabut. Setelah orang tersebut pindah, maka akan dibuatkan rumah oleh warga desa tetapi mereka tidak boleh melewati jalanan umum atau memasuki Pura dan mengikuti kegiatan adat. Semacam hukuman ekskomunikasi dalam sistem gereja Katolik gitu deh....

Perkawinan dan jalinan garis keturunan bagi masyarakat Desa Adat Penglipuran adalah sesuatu yang tenget ( istilah dalam Bahasa Bali yang menyiratkan larangan untuk mengganggu terhadap areal / lingkungan, tempat, bangunan, tumbuhan, hewan atau benda-benda tertentu, karena dianggap keramat, suci, bertuah atau dapat mendatangkan bencana atau risqi bagi pendukungnya), sehingga sangat ditaati oleh seluruh masyarakatnya. Mayoritas penduduk desa adat Penglipuran melakukan pernikahan dengan sesama warga desa. Oleh sebab itu sebagian besar penduduk masih terikat hubungan darah antara satu sama lain. Jika ada laki-laki dari desa adat Penglipuran yang menikahi gadis dari klen/keluarga diluar warga Penglipuran, maka dia tetap harus melakukan kewajiban yang dimilikinya sebagai warga desa adat Penglipuran.

Jalan Desa Penglipuran
Rurung gedhe, Jalan Utama Desa Penglipuran
Keunikan lain dari Desa Adat Penglipuran adalah bentuk bangunan rumah yang seluruh rumahnya memiliki kesamaan. Kesamaan tersebut meliputi kesamaan desain pintu, dinding dan atap rumah serta ruangan-ruangan didalam rumah. Untuk melihat lebih dekat bentuk bangunan rumah penduduk dan kesehariannya, para wisatawan diijinkan untuk singgah masuk bahkan tinggal di rumah-rumah penduduk desa ini.
Dari desain pintu, rumah Desa adat Penglipuran seluruhnya menggunakan desain pintu gerbang yang hanya memiliki ukuran lebar 1 meter dan hanya muat untuk dilewati 1 orang. Desain pintu seperti ini biasa disebut angkul-angkul seperti di rumah-rumah Bali pada umumnya. Hanya saja konsep angkul-angkul di Desa Adat Penglipuran menganut konsep terbuka tanpa pintu. Yang maksudnya bahwa kepercayaan masyarakat adat Desa Penglipuran yang meyakini bahwa semua orang yang masuk dan berkunjung adalah orang-orang baik dan bermaksud baik. Sehingga dengan konsep keterbukaan tersebut menunjukkan warga desa Penglipuran terbuka kepada siapapun yang berkunjung ke rumah mereka tanpa terhalang.
Pada desain dinding bangunan rumah dan atap sebagian besar menggunakan bahan dasar bambu dan batu bata. Bambu yang digunakan dalam pembangunan rumah di Desa Adat Penglipuran adalah bambu yang tumbuh di hutan bambu di Desa Adat Penglipupan. Hutan bambu yang tumbuh di Desa Adat Penglipuran mempunyai luas sebesar 37,7 ha (sebelumnya 50 ha) dan terdiri dari 15 spesies bambu yang seluruhnya berstatus milik desa. Sebagian dari hutan tersebut dikelola langsung dibawah Adat Desa sebagai Laba Pura (diperuntukkan untuk pemeliharaan bangunan pura) sedangkan sebagian dikelola oleh beberapa penduduk dengan status hak pakai. Makanya ada larangan menebang pohon bambu tanpa seijin tokoh masyarakat setempat.

Pura Penataran Desa Penglipuran
Pura Penataran
Dipusat desa, di dataran paling tinggi dari Desa Penglipuran terdapat Pura Penataran, yang merupakan Pura Pemujaan untuk Dewa Brahma. Disebelahnya ada Pura Puseh, yang merupakan Pura pertama yang dibangun di Desa Penglipuran sebagai Pura Pemujaan Dewa Wisnu. Ada 1 Pura lagi di Desa Penglipuran yaitu Pura Dalem yang terletak di bagian bawah desa mengarah ke laut. Pura Dalem ini sebagai Pura Pemujaan Dewa Siwa.

Lokasi Desa Penglipuran


Desa Penglipuran secara administratif terletak di Kelurahan Kubu, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli, sekitar 5 km dari kota Bangli dan 45 km dari Denpasar. Dengan luas desa kurang lebih 112 hektar, desa adat yang terletak pada ketinggian 500 m sampai 600 m diatas permukaan laut ini, berbatasan dan dikelilingi desa adat lainnya. Desa adat Kubu disebelah timur, Desa adat Gunaksa disebelah selatan, Desa adat Tukad Sang-sang di barat, dan Desa adat Kayang disebelah utara.


Cara menuju Desa Adat Penglipuran


Bila sampeyan berangkat dari pusat Kota Denpasar, sampeyan akan membutuhkan waktu tempuh kuarng lebih satu jam perjalanan darat ke arah timur laut. Dari by pass Ida Bagus Mantra, lurus hingga perempatan Jalan Pantai Siyut kemudian belok kiri. Dari Jalan Pantai Siyut menuju Jalan raya Tulikup kemudian dilanjutkan ke Jalan Taman Bali menuju Kota Bangli. Sampai di Kota Bangli, carilah Jalan Nusantara hingga menemukan pertigaan kemudian belok kiri mengikuti papan petunjuk arah menuju Objek Wisata Desa Penglipuran. Ikuti jalan tersebut sampai kurang lebih 300m hingga tiba di depan gerbang Desa Penglipuran.

Demikian sekelumit cerita perjalanan tentang Desa Penglipuran. Oh iya sedikit info tambahan, Desa Penglipuran ini menerapkan konsep 'Pariwisata Berbasis Komunitas' untuk menghindari kapitalisme pariwisata di desa mereka. Dalam konsep ini, tidak ada masyarakat yang akan mendapat keuntungan langsung dari pariwisata, karena keuntungan dari tiket dan wisatawan akan dialokasikan untuk pembangunan desa. Pemandu Wisata, Penjaga Tiket dan petugas lainnya akan dipekerjakan langsung oleh desa dan mendapat bayaran dari jumlah keuntungan yang didapat.
Sebelum konsep ini diterapkan, masyarakat Desa Penglipuran biasanya mendapatkan keuntungan dengan mengundang masuk wisatawan ke dalam pekarangan mereka, sambil menjelaskan tradisi dan budaya mereka. Namun cara ini dianggap tidak adil, karena pekarangan yang jauh dari pintu utama cenderung memperoleh sedikit kesempatan dikunjungi wisatawan. Oleh karena itu, melalui konsep Pariwisata berbasis komunitas ini, semua pekarangan diberikan nomor dan pemandu wisata akan memberikan nomor dengan sistem berputar bergiliran kepada kelompok wisatawan yang datang berkunjung. Disamping itu setiap rumah juga diberikan kesempatan untuk menjual souvenir di pekarangan mereka masing-masing dengan aturan bahwa dari souvenir yang terjual harus ada nilai kontribusi untuk mendukung pembangunan desa sebesar Rp. 5000,-

Jadi saran saya, berbelanjalah souvenir di Desa Adat penglipuran ini...karena pembelanjaan sampeyan berarti juga membantu pembangunan dan pergerakan ekonomi komunitas adat Desa ini. Satu produk yang banyak ditawarkan dan patut dicoba adalah Loloh Cemcem. Loloh Cemcem adalah minuman tradisional yang diolah dengan cara tradisional dengan berbagai khasiatnya, seperti mengobati panas dalam dan lain-lain. Rasa minuman ini rame...manis, asem, asin dan (tidak semuanya) pahit. Harganya dibanderol Rp. 5000,- perbotol seukuran air mineral 600 ml.
Overall, aku sih iyess...monggo dicoba sendiri

Loloh Cemcem
Loloh Cemcem

Post Navi

Post a Comment

0 Comments

Close Menu