Brobosan: Tradisi Jawa Untuk Penghormatan Terakhir

Masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, setahu saya sebagai orang Jawa memiliki tradisi-tradisi yang sampai sekarang masih dilakukan. Terlepas apapun agama yang dianut, adat dan tradisi yang telah turun temurun dari nenek moyang sampai saat ini masih banyak dipraktekan oleh masyarakat Indonesia, khususnya Jawa.

Seperti tradisi Menguburkan ari-ari (plasenta) saat kelahiran bayi, yang saya pernah tuliskan di artikel 'Sedulur Papat Kalimo Pancer'. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, banyak tradisi dan ritual yang sarat dengan filosofi dan makna yang terkandung baik secara tersirat maupun secara tersurat. Tradisi- tradisi ini seringkali kemudian disandingkan dengan ritual keagamaan sehingga terjadi inkulturasi budaya yang menjadikan agama-agama yang berkembang di Nusantara jadi unik dan malah seringkali di protes para penganut agama garis keras. Katanya 'Agama di Indonesia itu melenceng dari apa yang ada di kitab suci', 'Para penganut agama di Nusantara ini kebanyakan melakukan bid'ah, karena bukan seperti itu perintah nabi' dan lain-lain...dan lain-lain.

Saya tidak ingin masuk terlalu dalam ke dalam ranah keagamaan, karena saya bukan ahli agama ataupun ahli kitab. Dalam artikel ini saya cuma ingin berbagi tentang tradisi yang masih di praktekan (di uri-uri, dalam bahasa Jawa) terkait dengan Tradisi Kematian.

Dalam perjalanan kehidupan seorang manusia, yang dimulai dengan Kelahiran, maka Kematian adalah adalah garis akhir bagi seorang manusia untuk hidup dan berkarya di dunia ini. Ada banyak hal, yang tertinggal saat seorang meninggal dunia. Banyak kenangan, kawruh (ilmu pengetahuan), unggah-ungguh (adat istiadat) dan cerita baik yang ditinggalkan oleh yang telah meninggal.
Kenangan Ngangsu Kawruh dari Eyang - dok. Pribadi
Pada masyarakat Jawa, ada beberapa tradisi yang menyangkut upacara kematian yang bersumber dari ajaran para leluhur terdahulu. Tradisi-tradisi ini erat kaitannya dengan keyakinan serta pengalaman batin masyarakat Jawa dalam menjalani lelaku urip (jalan hidup) yang sarat dengan makna ritual secara lebih dalam.

Saat terjadi kesripahan (kedukaan) karena kematian, semua anggota keluarga sebisa dan sesegera mungkin berkumpul untuk bisa berbagi duka, saling menghibur serta untuk mengantarkan jenazah menuju tempat peristirahatan terakhir. Ada kalanya prosesi pemakaman menunggu anak atau anggota keluarga inti yang sedang berada diluar kota agar bisa ikut memberikan penghormatan serta menghantar jenazah untuk yang terakhir kalinya.

Sementara menunggu seluruh keluarga inti bisa berkumpul, keluarga yang terdekat dibantu para kerabat dan tetangga akan menyiapkan berbagai ubo rampe (perlenkapan) yang diperlukan dalam penghormatan terakhir kepada jenazah. Ada yang menyiapkan pelbagai perlengkapan untuk dibawa ke pemakaman, ada yang berbelanja jajanan untuk para tamu yang datang melayat, ada yang mempersiap tempat lokasi pemakaman dan banyak hal lain yang perlu dipersiapkan seperti karangan bunga, bunga tabur dan peti jenazah. Salah satunya adalah tanah yang diambil langsung dari pemakaman. 
Persiapan Lokasi Pemakaman - dok. Pribadi
Tanah tersebut dibentuk bulat-bulat, Gelu, orang Jawa menyebutnya berjumlah 3 bulat-an yang nantinya setelah diberkati dalam upacara doa (misa Requiem, untuk umat Katolik) tanah ini dimasukkan ke dalam peti (atau sebagai simbol tanah pertama yang dilemparkan ke dalam liang lahat).

Proses penghormatan jenazah dimulai dari jenazah dimandikan untuk yang terakhir kali, biasanya jika yang meninggal laki-laki maka yang akan memandikan adalah kerabat dan anak lelakinya, sedangkan jika yang meninggal perempuan maka anak perempuan dan kerabat perempuannya yang memandikan. Prosesi ini dimaksudkan sebagai simbol bahwa jenazah tersebut dibersihkan dari segala kekotoran keduniawian sehingga layak untuk kembali menghadap Gusti kang Murbeng Dumadi (Tuhan Sang Pemilik Kehidupan). Setelah jenazah dimandikan, menurut kepercayaan Kristen-Katolik, jenazah akan diberi pakaian yang terbaik untuk dipakai, seringkali pakaian ketika menikah (jika masih ada dan layak) yang akan dipakaikan. Jenazah akan dirias secantik/setampan mungkin kemudian pada tangannya akan di genggamkan Rosario. Setelah semua proses ini selesai, jenazah akan di semayamkan di ruang keluarga/ruang tamu (atau rumah duka) agar bisa diberikan penghormatan terakhir oleh para kerabat, tetangga dan siapa saja yang datang untuk melayat.

Setelah semua anggota keluarga, termasuk yang berada diluar kota, sudah berkumpul semua maka diselenggarakan Misa Requiem atau lebih dikenal dengan istilah Misa Arwah. Dalam Misa ini, jenazah dan semua perlengkapan yang nantinya dibawa ke makam seperti bunga tabur dan tanah Gelu diberkati dan didoakan. Ini merupakan penghormatan terakhir dari keluarga sebelum tutup peti.
Misa Requiem dan Pemberkatan Gelu - dok. Pribadi
Pemberkatan Jenazah Eyang Sebelum Prosesi Tutup Peti - dok. Pribadi
Setelah misa Requiem ini selesai maka salah satu dari keluarga yang dituakan mewakili pihak keluarga untuk menyampaikan permintaan maaf dari almarhum/almarhumah jika selama hidupnya memiliki salah kepada keluarga, kerabat ataupun masyarakat sekitarnya. Setelah semua permintaan maaf disampaikan maka selanjutnya prosesi tutup peti dilaksanakan, kemudian peti akan di bawa keluar dari rumah.

Satu ritual yang unik pada saat peti sampai diluar (halaman) rumah adalah Brobosan. Ritual ini mengandung dua makna dan tujuan mengapa Brobosan ini dilakukan. Yang pertama, tentunya sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi yang meninggal. Yang kedua adalah untuk mendapatkan tuah dari jenazah tersebut. Tuah ini bisa berupa umur panjang, terutama jika seseorang yang meninggal tersebut merupakan orang yang berumur panjang. Atau jaman dahulu dipercaya jika yang meninggal adalah orang yang berilmu tinggi maka ilmunya akan menurun pada orang yang mbrobos.
Ritual Brobosan alm. Romo JB. Casutt. SJ di Kawasan Kolose Mikael, Karangasem Solo - dok. Solopos.com
Ritual Brobosan ini dilakukan di depan rumah sebelum jenazah di berangkatkan menuju pemakaman. Orang yang bertugas membawa Peti jenazah akan mengangkat Peti tinggi-tinggi, kemudian dipimping oleh anggota keluarga yang paling tua, anak dan cucu serta kerabat dekat akan Mbrobos atau berjalan dibawah peti yang diangkat tersebut.
Para anggota keluarga ini akan mbrobos berjalan melewati (dibawah) peti satu persatu, bermula dari sebelah kanan, kemudian ke sebelah kiri, berputar ke depan hingga kembali ke sebelah kanan. Dimulai dari anak laki-laki yang tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan cucu perempuan berjalan berurutan sebanyak tiga kali (atau ada yang 7 kali) berputar searah jarum jam. Urutannya selalu diawali  dari anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada diurutan pertama; anak yang lebih muda beserta keluarganya mengikuti dibelakang.

Mengapa anak, cucu dan keluarga dekat saja yang biasanya melakukan brobosan ? Hal ini dilakukan sesuai dengan pepatah jawa 'mikul dhuwur mendhem jero' yang berarti menjunjung tinggi kehormatan, mengingat jasa dan mengubur dalam-dalam kesalahan dari orang yang sudah tiada.

Inilah ritual yang merupakan bentuk perpisahan dan penghormatan terakhir sebelum jenazah dimakamkan, dengan harapan bahwa semua keluarga sudah benar-benar ikhlas melepaskan kepergian
Prosesi Tabur Bunga Pemakaman Eyang - dok. Pribadi
Prosesi Melemparkan Gelu ke dalam Liang Lahat - dok. Pribadi
Namun kembali lagi, Ritual Brobosan ini adalah Tradisi cara penghormatan terakhir dan merupakan pelepasan jenazah menuju ke alam keabadian. Ritual ini juga merupakan bagian dari kebudayaan yang di wariskan secara turun temurun yang kemudian semuanya dikembalikan pada kepercayaan dan agama yang dianut seluruh anggota keluarga.

Dilaksanakan boleh...tidak dilakukan juga gak ada larangan mengingat situasi dan kondisi. Tetapi ya sebagai orang Jawa, sebaiknya ya dilakukan untuk mengajarkan pada orang-orang (Jawa) yang lebih muda untuk mau nguri-uri kebudayaan warisan leluhur. Namun mengingat karena situasi dan kondisi halaman rumah Eyang yang tidak cukup luas untuk Tradisi Brobosan ini, maka pada prosesi Ritual pemakaman Eyang kemarin, kami tidak melakukan Prosesi tersebut.
Saya dan kami semua, keluarga besar Soeyoko cukup percaya bahwa dengan atau tanpa Ritual Brobosan ini, semua doa, kebaikan, kebijaksanaan dan pengetahuan dari Eyang Uty akan tetap selalu bersama kami, anak cucu dan keluarga sampai kapanpun itu

Selamat Jalan Eyang Uty Soeyoko....sampai bertemu lagi di keabadian nanti

Persembahan Terakhir Untuk Eyang
Post Navi

Post a Comment

0 Comments

Close Menu