
Perdebatan tentang kejadian Menikah Beda Agama ini sudah berlangsung dari jaman dahulu kala, bahkan mungkin dari saat Indonesia masih dijajah Belanda. Pada dasarnya, jika dikembalikan pada idealisme dan Hukum Agama, semua agama tentu akan mengharuskan (minimal menghimbau) agar tidak terjadi sebuah pernikahan campur (beda agama). Karena bagaimanapun juga akan ada kerentanan bahaya iman yang bisa membuat sebuah perkawinan akhirnya bermasalah. Saya tidak ingin melebarkan pembahasan dan menyeberangkan sudut pandang seperti yang sudah banyak dibahas para pakar hukum menurut Hukum Islam, karena saya tidak paham hukumnya, tidak tahu dasar ayatnya dan karena bukan area keyakinan saya juga. Jadi biar nanti beliau-beliau yang menyandang gelar Ulama-lah yang meluruskan apa yang menurut beliau-beliau ini bengkok (dibengkokkan).
Pernikahan Beda Agama Menurut Hukum Katolik
Dalam pandangan Gereja Katolik, pernikahan beda agama (atau disebut Pekawinan campur) adalah pernikahan antara dua orang yang berbeda iman, agama, gereja dan ajaran. Termasuk didalamnya perbedaan Kitab Suci dan moralitas atau etika serta ajaran sosialnya. Pada bagian awal Motu Propio Matrimonia Mixta (MM) pada 31 Maret 1970, Paus Paulus VI memberi arti perkawinan campur: 'perkawinan antara seorang dibaptis Katolik dengan pasangan non-Katolik, baik yang dibaptis dalam gereja lain maupun orang yang tidak dibaptis'. Sehingga secara khusus, arti pernikahan beda agama adalah perkawinan antara seorang yang dibaptis Katolik dengan seorang yang tidak dibaptis.
Sebetulnya pada Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1917 kanon 1070 §1 ditegaskan: 'Adalah batal kontrak perkawinan antara orang yang belum dibaptis atau kaum bidaah dan skisma dengan orang yang dibaptis di dalam Gereja Katolik'. Namun ini adalah KHK lama, dimana sangat jelas disebutkan bahwa seharusnya orang yang dibaptis Katolik tidak bisa dan tidak diperkenankan melangsungkan: Perkawinan dengan orang yang berbeda agama atau penganut kultus tertentu (non-baptis atau bidaah); dan perkawinan dengan kaum skisma (agama-agama reformis/protestan, yang memisahkan diri dari Katolik). Sehingga implikasinya, jika ada umat Katolik yang tetap melangsungkan perkawinan dengan mereka ini, maka perkawinan tersebut batal (nullum).
Akan tetapi Paus Paulus VI kemudian menyampaikan sikap dan ajaran Gereja dalam MM no. 2: "Perkawinan yang dirayakan antara dua orang, satu diantaranya telah dibaptis di Gereja Katolik atau diterima di dalamnya, sementara yang lain belum dibaptis, tidaklah sah tanpa pemberian dispensasi sebelumnya oleh Ordinaris setempat". Ajaran Paus Paulus VI tersebut selanjutnya diadopsi dalam KHK tahun 1983 kanon 1086 §1 :"Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima didalamnya, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah", kanon 1086 §2 "Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kanon 1125 dan 1126".
Dispensasi Gereja Katolik Dalam Pernikahan Beda Agama
Pertama, Dispensasi adalah bentuk pelonggaran dari daya ikat undang-undang yang semata-mata bersifat gerejawi (kanon 85). Aturan Gereja Katolik mengenai pernikahan beda agama yang merupakan aturan gerejawi ini dimungkinkan untuk diberikan dispensasi atasnya. Dispensasi yang kemudian diberikan ini lebih merupakan kemurahan hati otoritas gerejawi, setelah mempertimbangkan pemenuhan syarat-syarat yang dituntut.
Kedua, pihak calon mempelai yang Katolik, melalui Pastor Paroki, dengan penuh kerendahan hati meminta dispensasi atas pernikahan beda agam yang ingin dilakukannya.
Ketiga, otoritas yang berhak memberikan dispensasi atas halangan pernikahan beda agam adalah Uskup Diosesan atau Administrator Diosesan atau Administrator Apostolik atau Vikaris Jenderal atau Vikaris Episkopal (lihat kan 479 §1 - §2; kan 1078 §1). Akan tetapi otoritas gereja ini baru bisa dan boleh memberikan dispensasi dari halangan beda agama jika ada alasan yang wajar dan masuk akal (bdk. kanon 90).
Syarat-Syarat Pemberian Dispensasi
- Calon mempelai Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya meninggalkan iman katolik. Dalam hal ini, faktanya di Indonesia tidak sedikit pasutri yang berbeda agama kemudian setia sampai mati membangun bahtera keluarganya dengan kondisi pihak Katolik tetap beriman Katolik dan semua anak-anak yang lahir dibaptis dan dididik secara Katolik. Akan tetapi, tidak sedikit pula orang Katolik yang memasuki pernikahan beda agama namun kemudian akhirnya meninggalkan imannya. Karena pada kondisi aktualnya, dalam pernikahan, apalagi dengan kondisi beda agama, kemudian akan ada banyak hal yang berebut mana yang lebih kuat pengaruhnya (termasuk pengaruh keluarga besar) sehingga pada perjalannya lama-lama pihak Katolik akan menghadapi bahaya meninggalkan imannya.
- Pihak Katolik memberikan janji yang jujur bahwa ia akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik secara Katolik. Persoalannya adalah apakah pihak Katolik akan mampu setia pada janji ini seumur hidupnya ? Realitanya memang tak sedikit pasutri beda agama yang berhasil menepati janji ini. Akan tetapi tidak sedikit pula yang mengalami kegagalan menjaga janjinya dalam perjalanan hidup berumah tangganya. Ada cerita ketika seorang pria Katolik menikah dengan seorang wanita Muslim, dengan segala perjuangannya untuk mendapatkan dispensasi dari halangan beda agama dari Vikjen Diosesan. Meraka dikarunia seorang anak perempuan dan ketika pihak Katolik berusaha menapati janjinya saat proses Kanonik untuk mengajarkan dan membesarkan sang anak sesuai dengan etika dan cara hidup seorang Katolik kemudian mendapati halangan dari pasangannya. Apalagi seorang anak pada kesehariannya akan lebih banyak berinteraksi dengan ibunya sementara sang ayah lebih banyak di luar rumah untuk mencari nafkah. Setiap kali sang ayah pergi ke Gereja, anak ini kemudian diambil saudara-saudari dari istrinya dengan dalih diajak jalan-jalan dan rekreasi di hari minggu. Sang ayah dilarang keras membawa anaknya ke Gereja Katolik sehingga kesulitan untuk sekedar mengenalkan dasar-dasar iman Katolik. Apalagi jika bermaksud dibawa ke Gereja untuk dibaptis secara Katolik....itu akan jadi hal yang sangat sulit. Dari kisah ini sang ayah seolah-olah jadi orang asing dengan kebiasaan asing bagi anaknya sendiri.
- Mengenai janji-janji yang harus dibuat oleh kedua belah pihak (pihak katolik maupun pihak non-Katolik) hendaknya dibuat dengan sungguh-sungguh dan penuh kesadaran akan janji dan kewajiban pihak Katolik. Karena seringkali yang terjadi di pihak non-Katolik akan merasa bahwa janji tersebut merupakan hal formalitas...yang penting bisa dapat dispensasi. Padahal jika berpedoman pada kanon 1126, saat pemeriksaan kanonik, Pastor akan meminta kesediaan pihak Katolik dan pihak non-Katolik untuk menyatakan dengan pernyataan tertulis yang ditandatangi dan dengan jujur bahwa mereka bersedia sungguh-sungguh melaksanakan dengan setia janji-janji yang dituntut dalam kanon 1125.
- Pihak Katolik dan non-Katolik hendaknya diajar mengenai tujuan dan ciri-ciri hakiki esensial perkawinan yang tidak boleh dikecualikan oleh seorang pun dari keduanya.
- Kebaikan suami istri (bonum coniugum). Bonum ini berarti 'kebaikan'. Dalam kebaikan, tidak selalu yang dialami adalah kenyamanan, kesejahteraan dan kebahagiaan; tetapi terutama kesetiaan dan perjuangan membangun sebuah keluarga. Itulah sebabnya dalam pernikahan akan ada momen saling memberi dan menerima janji perkawinan: "Saya memilih engkau menjadi istri/suamiku. Saya berjanji untuk setia mencintai dan mngabdikan diri kepadamu, dalam untung dan malang, di waktu sehat dan sakit. Saya mau mengasihi dan menghormati engkau sepanjang hidup saya". Disini bisa diartikan bahwa 'kebaikan' dalam ikatan penikahan ini seharusnya diejawantahkan dalam bentuk perjuangan memenuhi kesejahteraan lahir dan batin secara bersama-sama. Baik kesejahteraan lahir yang berkaitan dengan kebutuhan pangan (makanan), sandang (pakaian), papan (tempat tinggal), maupun kesejahteraan batin yang menyangkut keharmonisan dan hubungan seksual yang wajar dan normal.
- Keterbukaan untuk menerima kelahiran anak (bonum prolis). Umat Katolik yang menolak atau mengecualikan kelahiran anak yang merupakan unsur hakiki perkawinan bisa membuat perkawinan yang sudah dilangsungkan menjadi tidak sah (bdk. kanon 1102 §2). Dalam pemeriksaan kanonik, biasanya Pastor akan meminta kesediaan calon pasutri untuk tidak melakukan dan terlibat dalam tindakan aborsi. Karena aborsi adalah merupakan bentuk tindakan penolakan terhadap kelahiran anak dan termasuk salah satu dosa besar.
- Pendidikan anak (bonum educationis) secara Katolik. Gereja Katolik menegaskan bahwa pendidik yang pertama dan utama adalah orangtua (GE, no.3). Pendidikan Katolik seperti dasar etika, moralitas dan ajaran sosialnya tidak hanya diterima oleh anak-anak dari ayah saja, tetapi juga ada peran ibu disitu. Dalam masa pertumbuhan anak-anak, mereka akan menyerap dan meniru kebiasaan dan perilaku keseharian termasuk kebiasaan dan perilaku hidup beriman orang tuanya, yang mereka lihat dalam keluarganya. Nah, kira-kira sampeyan bisa bayangkan apa yang akan terjadi dalam diri anak berkaitan dengan imannya ketika melihat orang tuanya dengan dua agama yang berbeda sehingga berbeda pula kebiasaan dan perilaku kesehariannya?
Penataan Hukum Pernikahan (secara) Katolik
Negara dalam hal ini di wakili Kantor Catatan Sipil mempunyai tugas hanya mencatat perkawinan yang telah diresmikan agama dan tidak bertugas melaksanakan apalagi mengesahkan suatu perkawinan.
Tidak Ada Katoliksasi Dalam Pernikahan Katolik
Dalam pernikahan beda agama yang dilakukan dalam Gereja Katolik, prosesi penikahannya berupa proses Pemberkatan Pernikahan. Pemberkatan Pernikahan ini lebih pada pengucapan janji perkawinan yang saling diberikan dan dijalankan oleh seorang yang dibaptis secara Katolik dengan seorang yang tidak dibaptis (sudah dibaptis tapi tidak secara Katolik) dihadapan dua saksi awam dan seorang imam. Inti isi janjinya setia sampai maut memisahkan, saling mencintai dan menghormati seumur hidup.
Berbeda dengan Sakramen Perkawinan, pada Pemberkatan Perkawinan konsep pernyataan penyelidikan atas kesediaan pasangan, rumusan janji, doa dari Pastor akan ada perbedaan kata-katanya. Disini pihak non Katolik juga tidak diwajibkan untuk berdoa secara Katolik. Susunan acaranya-pun hanya pasangan masing-masing menjawab beberapa pertanyaan mengenai keikhlasan hati tanpa paksaan untuk melangsungkan pernikahan, mereka mengucapkan janji perkawinan yang intinya seperti sudah saya sebutkan diatas. Selanjutnya Pastor (Imam) akan mengesahkan perkawinan, doa pemberkatan oleh Imam bagi pasangan tersebut, pengenaan cincin tanda cinta dan kesetiaan lalu penanda tanganan dokumen perkawinan (Matrimonio Testimoni).
Berbeda dengan proses Akad nikah jika dilakukan di hadapan penghulu KUA di masjid yang disertai dengan pengucapan syahadat dari pihak Katolik, atau di beberapa proses pernikahan secara Kristen di beberapa gereja protestan yang menuntut pihak Katolik dibaptis secara protestan. Dulu ada seorang Pastor yang pernah bilang pada saya, 'Di Gereja Katolik itu tidak ada istilah Katoliksasi meskipun yang non Katolik menikah dengan orang Katolik'. Sekali lagi, tidak ada orang yang non-Katolik kemudian menjadi otomatis Katolik karena proses pernikahan di Gereja Katolik.
Pencatatan Pernikahan Beda Agama Secara Hukum Negara
Tidak seperti Pernikahan secara Islam di hadapan Penghulu KUA yang akan langsung dicatatkan dalam hukum negara dan mendapat Surat Nikah. Pernikahan secara Katolik tidak otomatis langsung dicatatkan ke dalam Hukum Negara sehingga untuk administrasi kependudukannya pasutri yang telah menikah di Gereja selanjutnya harus mencatatkan pernikahannya di Kantor Disdukcapil.
Disini kemudian seringkali terjadi masalah bahwa Kantor Disdukcapil kemudian menolak permohonan pencatatan sipil ini dengan alasan berpedoman pada UU Pernikahan no. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang menyebutkan:'Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu'. Selanjutnya untuk memenuhi UU Pernikahan no. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2 yang menyatakan: 'Tiap-tiap pernikahan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku', pasutri yang menikah beda agama ini kemudian harus meminta penetapan dari Pengadilan Negeri untuk memerintahkan pada Kantor Disdukcapil untuk mencatat pernikahan tersebut, seperti yang dilakukan pasutri beda agama di Pontianak.
Berdasarkan Putusan MA tersebut, seseorang dapat memilih untuk menundukkan diri dan melangsungkan perkawinan tidak secara agama tertentu (dalam hal putusan tersebut tidak secara Islam). Kemudian apabila permohonan pencatatan perkawinan dikabulkan oleh pihak Kantor Catatan Sipil, maka perkawinan tersebut sah menurut hukum.
Kesimpulan Saya Tentang Menikah Beda Agama
Bagaimanapun juga, menikah itu adalah sebuah gerbang menuju perjalanan yang sangat panjang. Dibutuhkan komitmen yang tidak berkesudahan, karena menyatukan dua kepala dengan dua latar belakang keluarga dan pemikiran yang berbeda saja tidaklah mudah. Apalagi menyatukan pandangan tentang etika, moralitas dan iman yang tidak sama, tentulah membutuhkan mental baja dan tanpa kacamata kuda terhadap ajaran tertentu dalam memandang dan menjalani kehidupan bersama.
Yakin mau menikah beda agama ?
0 Comments