Polemik tentang Jaminan Hari Tua itu sudah menjadi Polemik sejak dulu kala. Bukan baru saat ini atau kemarin Pemerintah melalui Kemenaker mengubah aturan tentang Jaminan Hari Tua. Program JHT ini sendiri sebenarnya adalah program lama yang melanjutkan Program Jamsostek (BPJS Ketenagakerjaan, kala itu). Pada masa masih jadi program Jamsostek (berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2009), manfaat JHT dibayarkan sebesar keseluruhan iuran yang telah disetor ditambah dengan hasil pengembangannya. Manfaat ini akan dibayarkan apabila : Peserta mencapai umur 55 tahun atau meninggal dunia atau cacat total tetap, Mengalami pemutusan hubungan kerja sebelum berusia 55 tahun dan telah menjadi peserta sekurang-kurangnya 5 tahun dengan masa tunggu pembayaran selama 1 bulan pasca PHK (atau mengundurkan diri dari perusahaan), Meninggalkan wilayah Indonesia untuk selama-lamanya, Pindah pekerjaan menjadi Pegawai Negeri Sipil/Anggota POLRI/Anggota ABRI.
Semangat MayDay - Pribadi |
Koq bisa ? Ya karena dulu setiap pindah kerja terus pindah kerja di perusahaan lain maka perusahaan akan (wajib) mendaftarkan lagi tenaga kerjanya untuk ikut Program Jamsostek. Jaman itu proses pencairan tidak sulit, karena peserta program Jamsostek cukup datang ke kantor Jamsostek dengan membawa KTP + Surat Keterangan Berhenti Bekerja (Paklaring). Hanya memang antrinya yang lama...bisa datang subuh cuma ambil nomor antrian terus dipanggil, cek dokumen, menunggu dan akhirnya peserta diberikan Cek untuk pencairannya.
Saya dulu mencairkan JHT tahun 1999, setelah 3 tahun kerja dan kena dampak PHK jaman krisis moneter tahun 1998. Kala itu saya hanya dapat pencairan sebesar Rp 500.000,- untuk kepesertaan 2,5 tahun. Uang hasil pencairan ini saya gunakan untuk bikin aquarium dan modal usaha ternak ikan hias.....rencananya. Saat itu saya tetap aktif cari kerja sambil menjalankan usaha dagang ikan hias. Tapi itu....uang hasil pencairan JHT tersebut cuma bertahan 3 bulan. Usaha dagang ikan hias gagal dan saya tetap menganggur...tidak punya pekerjaan sampai kemudian harus ngamen untuk bisa bertahan hidup di Bekasi.
Beruntung setelah nganggur bertahun-tahun, 2004 saya dapat pekerjaan baru, di PT. B dan didaftarkan jadi peserta Jamsostek (lagi). Tahun 2010 saya resign lagi. tapi langsung pindah kerja ke PT. C, jadi saat itu Kepesertaan Jamsostek saya dilanjutkan lagi di perusahaan baru. Gak bertahan lama di PT. C, tahun 2012 saya resign dari PT. C. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2009, saya lalu berusaha mencairkan JHT saya seluruhnya, baik saat masa kepesertaan di PT. B sekaligus kepesertaan di PT C.
Selama masa kerja (total 8 tahun) tersebut dana JHT (iuran + pengembangannya) saya 'hanya' mendapatkan Rp 4 juta'an, tahun 2012. Nah, kalo dana JHT yang ini tidak saya gunakan untuk modal usaha....ya habis begitu saja untuk kebutuhan sehari-hari. Bertahan berapa lama ? Gak nyampe sebulan amblas karena dipakai beli AC dan sebagian untuk bayar cicilan rumah.
Konsep Jaminan Hari Tua
Kisah diatas itu cuma cerita saya, mungkin beda dengan sampeyan. Sekarang kita coba telaah lebih lanjut tentang Konsep Jaminan Hari Tua. Konsep JHT ini adalah merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial yang meliputi 5 Jenis Jaminan Sosial, yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun. Untuk Program Jaminan Kesehatan kemudian diatur terpisah dalam aturan dan wewenang BPJS Kesehatan sementara 4 Program Jaminan lainnya tetap diatur dan dalam wewenang BPJS Ketenagakerjaan. Untuk yang belum 'ngeh', saat ini BPJS itu ada 2 ya...BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk beberapa perusahaan kemudian juga memisahkan pengaturan dan iuran BPJS ini, seperti saya misalnya, saat ini BPJS Kesehatan saya ikut program BPJS Kesehatan secara mandiri...bayar sendiri dan tidak diurus oleh perusahaan.
Cukupkah Pencairan Dana JHT untuk Modal Dagang Koran - dok. Pribadi |
Kembali ke soal Jaminan Hari Tua, Jaminan Hari Tua atau yang sering disingkat dengan JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. JHT bertujuan untuk menjamin agar peserta menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia. Dalam rangka mempersiapkan diri memasuki masa pensiun, Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU 40/2004) membuka peluang manfaat JHT diberikan kepada peserta tanpa harus menunggu usia pensiun. Ingat ya....UU tersebut membuka peluang JHT diberikan tanpa harus menunggu usia pensiun.
- Manfaat JHT dibayarkan secara sekaligus apabila peserta mencapai usia 56 tahun, meninggal dunia, mengalami cacat total tetap, atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. (pasal 37 ayat (1) jo. Pasal 26 ayat (1) PP 46/2015)
- Diluar kondisi tersebut, pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun (pasal 37 ayat (3) UU 40/2004 jo. pasal 22 ayat (4) PP 46/2015).
- Batas tertentu yang dimaksud adalah paling banyak 30% dari total saldo JHT, yang peruntukan untuk kepemilikan rumah atau paling banyak 10% untuk keperluan lain sesuai persiapan memasuki masa pensiun. Pengambilan manfaat JHT sampai batas tertentu tersebut hanya dapat dilakukan untuk 1 kali selama menjadi peserta (pasal 22 ayat (5) dan (6) PP 46/2015)
Polemik Yang Berulang dan Terjadi Lagi
Berdasarkan UU Ciptakerja, yang jika mengacu pada keputusan MK bahwa UU Ciptakerja masih harus di revisi, Kementrian mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 2022 Tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Jaminan Hari Tua. Bukan tiba-tiba dikeluarkan sih memang, karena menurut bu Menteri Tenaga Kerja, Peraturan Pemerintah ini sudah melalui kajian yang panjang, pembahasan secara Tripartit (Pemerintah, Pengusaha, Perwakilan Pekerja) dan merupakan cara mengembalikan Manfaat JHT seperti yang termaktub dalam PP 46/2015 dan UU 40/2004.
Banyak pihak yang ramai menyuarakan bahwa keputusan ini tidak tepat waktunya. Disaat Pandemi yang belum selesai, dimana banyak orang kehilangan pekerjaan, entah karena PHK, pabriknya tutup, bangkrut lalu mereka butuh 'bantalan'Â untuk bisa sekedar bertahan hidup atau butuh dana sebagai modal memulai usaha mandirinya, Pemerintah malah mengeluarkan aturan ini.
Fakta di lapangan, program JHT ini masih menjadi andalan dan harapan bagi pekerja untuk bertahan hidup ketika putus kerja. Tidak semua orang yang putus kerja menerima pesangon sesuai hak dan aturan saat di PHK. Apalagi kemudian perusahaan (pengusaha) berdalih Pandemi yang memukul kondisi usaha dan UU Ciptakerja yang kemudain digunakan oleh perusahaan untuk memberikan pesangon jauh lebih kecil. Bahkan di beberapa kasus, pekerja di PHK tanpa pesangon, atau mungkin 'dipaksa' mengundurkan diri agar perusahaan tidak perlu bayar pesangon. Tidak semua orang bisa punya privilage untuk bisa menabung, berinvestasi dan memiliki dana darurat, karena harus bertahan hidup hanya dari gaji bulanan (paycheck to paycheck). Menurut Data BP Jamsostek, alasan klaim JHT yang paling mendominasi selama lima tahun terakhir adalah klaim JHT yang disebabkan oleh alasan resign. Sebelum pandemi, tahun 2019, jumlahnya sekitar 77,65%; dan tahun 2020 berjumlah 75,76%.
Apa itu Jaminan Kehilangan Pekerjaan
Eh tapi jangan senang dulu, karena manfaat JKP ini dikecualikan bagi pekerja yang mengalami PHK dengan alasan :
- Mengundurkan Diri
- Cacat Total Tetap
- Pensiun
- Meninggal dunia
- Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang masa kerjanya sudah habis sesuai periode kontrak.
Nah, apakah kemudian program JKP ini bisa diakses dengan mudah untuk pekerja yang (di PHK dan) berhak ? Ternyata ada aturan lain bahwa untuk bisa terdaftar di JKP, pekerja harus terdaftar di program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Pensiun (JP). Sementara, usaha mikro dan kecil setidaknya di program JKN, JKK, JHT, dan JKM.
Masalahnya kemudian, selama ini masih sangat rendahnya kepatuhan pengusaha untuk mendaftarkan pekerjanya ke Jamsostek menjadi problem klasik yang membuat jaring pengaman sosisal bagi pekerja begitu rapuh. Banyak pengusaha yang tidak mendaftarkan pekerjanya atau hanya sebagian pekerja yang didaftarkan, demi menghindari kewajiban membayar iuran.
Memang tak dipungkiri bahwa sistem jaminan sosial yang tertata memang sangat dibutuhkan untuk melindungi masyarakat. Sekilas, secara teoritis dan alasan yuridis, mengembalikan Jaminan Hari Tua ke fungsi awalnya sebagai tabungan masa tua sesuai peruntukannya dapat dipahami. Siapa yang akan menjamin hari tua kita bisa hidup tenang, tetap punya uang walopun tanpa ada yang menggaji. Apalagi kalo tidak ada anak yang bisa (mau) merawat. Tapi ya kembali lagi, mau JHT di cairkan sekarang saat di PHK atau menunggu usia pensiun (56 tahun) tetap akan berujung ke pertanyaan akan bertahan berapa lama uang itu setelah dicairkan. Toh misalnya nanti dicairkan di usia 56 tahun keatas, kalo tidak dikelola dengan baik ya dalam berapa bulan saja akan amblas tanpa tersisa.
Kecuali pemerintah bisa menjamin seluruh penduduk negeri ini bisa seperti PNS yang walopun sudah pensiun tetap ada uang pensiun pengganti gaji yang terus menerus di transfer sampai dia meninggal dunia.
Apakah pemerintah sudah bisa seperti itu ?
0 Comments