Sam Poo Kong, Klenteng Yang Bercerita Tentang Seorang Laksamana Muslim Dari Tiongkok

Setelah sekian purnama, saya sampeyan dan mereka...kita semua 'dipaksa' untuk diam dirumah saja karena amukan virus Covid 19, akhirnya di penghujung tahun 2021 ini semua aturan sudah 'sedikit' dilonggakan. Walaupun masih tetap dengan segala ProKes yang harus dijalankan dan ditaati, untungnya kita 'diijinkan' untuk melakukan perjalanan keluar kota.

Nah, mumpung akhir tahun kemarin saya punya kesempatan untuk nge-Trip, pada artikel kali ini saya akan menuliskan Catatan Perjalanan akhir tahun ke suatu tempat yang cukup famous di kota Semarang. Tempat yang sempat saya kunjungi adalah Kuil (Klenteng) Sam Poo Kong, yang berlokasi di Jalan Simongan Raya no. 129, Semarang.

Sejarah Singkat Klenteng Sam Poo Kong


Klenteng Sam Poo Kong (secara literal bermakna 'gua tiga orang sakti'), diyakini sebagai tempat persinggahan dan pendaratan seorang Laksamana Tiongkok yang beragama Islam, bernama Zheng He atau lebih dikenal Laksamana Cheng Ho. Pendaratan Laksamana Zheng He ini mungkin awalnya karena sebuah kebetulan, karena pada saat armada sang Laksamana sedang berlayar melalui Laut Jawa, banyak anak buahnya yang jatuh sakit, termasuk nahkodanya yang bernama Wang Jing Hong. Melihat dan menimbang kondisi anak buahnya yang sakit dan membutuhkan perawatan segera, maka sang Laksamana kemudian memutuskan untuk membuang sauh dan merapat di Pantai Utara Semarang. Di Pantai tersebut (dulu daerah Simongan adalah pantai sebelum mengalami pendangkalan) Laksamana Zheng He dan anak buahnya berlindung dalam sebuah goa di tebing batu dan mendirikan sebuah masjid (belum ada bukti kongkret cerita tentang masjid ini) yang sekarang berubah fungsi jadi Klenteng. 

Sementara Wang Jing Hong beristirahat dan memulihkan sakitnya dalam goa di Simongan itu, Laksamana Zheng He melanjutkan pelayarannya ke arah timur untuk melanjutkan misi perdamaian dan perdagangannya.

Wang Jing Hong (yang kemudian berubah nama menjadi Dampo Awang) kemudian menetap di Simongan ditemani 10 anak buahnya. Mereka kemudian membangun pemukiman, bercocok tanam dan menikah dengan penduduk pribumi. Wang Jing Hong adalah seorang muslim yang saleh (menurut buku yang ditulis Khong Yuan Zhi, berjudul Muslim Tionghoa Cheng Ho) sehingga semasa hidupnya di Simongan, dia juga menyebarkan agama Islam, mengajarkan pertanian dan perdagangan pada penduduk sekitar Simongan. Apa yang dilakukan Wang Jing Hong ternyata berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.

Diorama Cerita Perjalanan Laksamana Zheng He

Pada tahun 1417, Wang Jing Hong membuat patung Laksamana Zheng He dalam goa batu tempat pertama dia mendarat agar penduduk sekitar mengingat dan memberikan penghormatan pada sang Laksamana. Wang Jing Hong meninggal pada usia 87 tahun dan dimakamkan di sekitar goa batu itu. Penduduk setempat kemudian menyebut makamnya sebagai Makam Kyai Juru Mudi (Makam Kapten Kapal). Makam ini saat ini berada didalam area komplek Klenteng Sam Poo Kong.

Tahun 1704, goa batu itu runtuh akibat longsor besar. Penduduk setempat kemudian membangun goa baru di samping Makam Kapten Kapal yang sampai saat ini kemudian dikenal sebagai Klenteng Agung Sam Poo Kong. Klenteng Sam Poo Kong sudah mengalami pemugaran beberapa kali.

Pintu Kuil Gedong Batu

Pada tahun 1965, Yayasan Sam Poo Kong didirikan oleh Thio Siong Thouw yang selanjutnya melakukan restorasi pada Klenteng. Restorasi secara menyeluruh dilakukan pada Januari 2002 untuk mencegah banjir dan masalahnlainnyang mungkin terjadi. Agustus 2005, bersamaan dengan peringatan 600 tahun kedatangan Laksamana Cheng Ho, restorasi berhasil diselesaikan dan mengubah kuil utama menjadi megah dan luas untuk menghormati Laksamana Cheng Ho.

Bangunan Klenteng Sam Poo Kong

Dalam komplek Klenteng Sam Poo Kong terdiri dari 5 bagunan, yaitu Klenteng Utama Sam Poo Kong, Klenteng Pemujaan Dewa Bumi, Klenteng Makam Juru Mudi, Klenteng Kyai Jangkar, Klenteng Kyai Nyai Tumpeng dan makam Mbah Nyai Cundrik Bumi.
  • Klenteng Utama Sam Poo Kong

Klenteng Utama Sam Poo Kong digunakan sebagai pemujaan terhadap Laksamana Ceng Ho. Bangunan Klenteng Utama memilik 90 tiang pilar berwarna merah dengan motif naga. Atap Klenteng Utama bertingkat 3 serta terdapat patung simbol binatang pada ujung atapnya. Warna yang  digunakan untuk atap Klenteng adalah warna merah, hijau dan kuning. Klenteng ini dihiasi berbagai lampion dan ornamen naga berwarna putih serta lantai yang terbuat dari marmer.
Di Teras Klenteng Utama

Goa Dengan Mata Air Yang Tak Pernah Kering

Bedug (atau mungkin Tambur ?) di Teras Klenteng Utama

Replika Senjata Anak Buah Laksamana Cheng Ho

Pada bagian belakang Klenteng ini ada Goa yang dinamai Gedong Batu. Ada yang bilang kalo Goa ini dulunya adalah bagian dari kapal Laksamana Cheng Ho, ada juga yang bilang kalo goa ini merupakan tempat beristirahat Laksamana Cheng Ho dan anak buahnya. Didalam goa ini (katanya) ada patung Laksamana Cheng Ho yang konon jika berdoa di dalam goa ini permohonannya bisa dikabulkan.
Sepanjang dinding luar goa Gedong Batu ini terpasang diorama kisah perjalanan Laksamana Cheng Ho. Uniknya, konon katanya batu yang dibuat untuk menggambarkan diorama ini didatangkan langsung dari China, walaupun pahatan diorama-nya dibuat oleh seniman dari Bali.

Di depan Klenteng Utama ini ada Patung besar Laksamana Cheng Ho yang terbuat dari full perunggu berada di depan Klenteng Utama, kabarnya Patung ini adalah pemberian pemerintah China sebagai bentuk penghormatan atas penjelajahan Laksamana Cheng Ho menyebarkan misi perdamaian.

  • Klenteng Pemujaan Dewa Bumi

Klenteng Pemujaan Dewa Bumi berfungsi sebagai tempat bersembahyang pada Dewa Bumi atau dikenal dengan nama Hok Tik Tjing Sin.

Bangunan klenteng berbentuk persegi empat dengan tinggi 16 meter dan ujung atapnya runcing. Disini terdapat 36 pilar berwarna merah dengan ujung bagian atas tiang berwarna kuning berbentuk lingkaran. Atap Klenteng bertingkat 2 dan tidak terdapat simbol hewan pada ujung atapnya. Plafon pada klenteng ini merupakan perpaduan balok vertikal dan horisontal. Warna yang digunakan putih, merah dan hijau. Di depan Klenteng ini tersusun berjajar patung-patung dewa 8 penjuru angin.

  • Klenteng Kyai Juru Mudi

Klenteng ini digunakan sebagai tempat pemujaan bagi Kyai Juru Mudi Dampo Awang atau dikenal sebagai Kapten Wang Jing Hong. Bangunan ini memiliki ketinggian 15 meter dan didalamnya terdapat makam Kyai Juru Mudi.

Bangunan Klenteng ini berbentuk persegi empat, berwarna merah dan memiliki dua tingkatan atap yang ujungnya lancip dengan simbol hewan pada ujung atap. Pilar terdiri dari 16 tiang, sebanyak 14 tiang berwarna merah bulat dihiasi lampu berbentuk teratai berwarna putih dan dua pilar berukiran naga terletak di depan pintu masuk. Pada ujung atas tiang terdapat bulatan lingkaran berwarna kuning.

Dibagian belakang ada 1 bangunan dengan ruangan yang dipercaya sebagai makam Kyai Juru Mudi. Di tempat ini, ada space yang cukup lega jika pengunjung yang muslim ingin berdoa di depan makam Kyai Juru Mudi. Makam Kyai Juru Mudi tersebut ditutupi dengan kain putih dan ada bangku tangga berwarna merah untuk pengunjung yang ingin melihat makam tersebut lebih dekat lagi.
Makam Kyai Juru Mudi

  • Klenteng Kyai Jangkar

Pada Klenteng Kyai Mbah Jangkar terdapat 3 altar sembahyang, yaitu tempat sembahyang Arwah Hoo Ping, Nabi Kong Hu Tju dan Kyai Mbah Jangkar. Bangunannya terbuat dari bata dengan ketinggian bangunan 10 meter. Terdapat 4 pilar dalam bangunan, dua pilar berbentuk bulat, dua lainnya berbentuk persegi, dengan dinding bata kiri kanan berwarna hijau. Diluar bangunan klenteng ada patung kura-kura dengan batu bertulisan di punggungnya.

Sebetulnya yang dimaksud dengan Kyai Jangkar adalah Jangkar yang diletakkan menyender di tembok di belakang altar Kyai Jangkar. Jangkar ini diyakini sebagai jangkar sekoci Laksamana Cheng Ho yang diturunkan saat mendarat di Pantai Semarang. Jangkar besar tersebut dulu ditemukan di sekitar Kali Kuping. Jangkar tersebut diyaklini berusia lebih dari 600 tahun dan membawa berkah tertentu untuk nelayan dan pedagang sehingga dianggap keramat dan bertuah.

Untuk Altar Arwah Hoo Ping adalah altar untuk mendoakan arwah orang meninggal yang tidak dirawat oleh keluarganya. Arwah Hoo Ping ini didoakan 3 kali yaitu sehari sebelum Imlek, saat Ceng Beng dan ketika Upacara Jit Gwee
  • Klenteng Kyai Nyai Tumpeng dan Nyai Cundrik Bumi
Dalam Klenteng Kyai Nyai Tumpeng dan Nyai Cundrik Bumi terdapat Makam Kyai Tumpeng yang konon adalah Juru Masak dari Laksamana Cheng Ho, sedang Nyai Cundrik Bumi adalah merupakan pusat tempat penyimpanan dan perawatan senjata pusaka.

Awalnya tempat ini hanya berupa lahan kosong, sampai suatu saat ada seorang dukun yang kesurupan dan berteriak Tumpeng! Tumpeng!. Sejak saat itu, oleh Yayasan Sam Poo Kong kemudian dibangunlah bangunan limasan berwarna merah dengan Altar sembahyang seperti makam dan menamai Kuil tersebut Han Li Bao atau Kyai Nyai Tumpeng. Konon ceritanya Han Li Bao adalah Putri dari Tiongkok yang ikut pelayaran Laksamana Cheng Ho dan berperan sebagai koki kapal. Pada klenteng ini terdapat tempat dupa, tempat lilin dari besi dan kursi berwarna merah.

  • Pohon Rantai
Di area dekat Klenteng Kyai Jangkar ada pohon yang merambat dan berbentuk seperti jalinan kepang rambut. Pohon ini dipercaya sebagai jelmaan tali jangkar yang digunakan oleh Laksamana Cheng Ho saat mendarat. Sekilas dahan yang merambat dan ditopang oleh beberapa rangka besi itu memang mirip seperti tambang.

Pohon aslinya, bonggolnya seperti tumpukan rotan yang setelah menjulur kurang lebih 10 meter cabang-cabangnya saling menyatu dan bercabang membentuk ulir rantai yang menjalar ke segala arah.

Apakah memang ini dulunya berasal dari tali tambang Jangkar sekoci Laksamana Cheng Ho ? Entahlah ya....
  • Replika Sekoci Laksamana Cheng Ho

Di depan Klenteng Kyai Jangkar dibuat sebuah replika sekoci yang di bagian depannya ada seperti segel kerajaan Tiongkok, seperti di film-film kungfu itu.

Ditengah Replika Sekoci ini ada pohon beringin dan dibagian belakangnya dibuat tempat untuk menggantungkan doa atau permohonan (mungkin).

Terlepas dari segala mitos dan ceritanya, sebenarnya ada satu pertanyaan yang menggantung di benak saya setelah mengunjungi tempat ini.

Jika memang Laksamana Cheng Ho adalah seorang muslim dan Juru Mudi-nya (Wang Jing Hong) adalah seorang Muslim yang saleh juga....kenapa yang dibangun adalah Klenteng sebagai tempat sembahyang bukan masjid ya....dan kenapa juga kemudian cara sembahyang dan pemujaannya lebih ke arah Kong Hu Tju, dan malah ada altar Nabi Kong Hu Tju...

Waalahualam lah ya....

Sebelum pulang, eh pas kebagian Bonus ada pertunjukan Barongsai...karena saya kesana pas berbarengan dengan kunjungan anak-anak SLB Negeri Kendal. Pertunjukan Barongsai ini biasanya hanya ada di hari Minggu saja.

Nyawer Barongsai

Generasi Penerus Pemain Barongsai

Untuk harga tiketnya, ada 2 macam yaitu tiket rekreasi biasa yang terbatas hanya di area Lapangannya saja (Rp 10.000,-) dan tiket terusan yang bisa masuk ke semua area Klenteng (Rp 40.000,-), mungkin akan beda jika sampeyan akan sembahyang ya, katanya sih cukup beli Hio saja. Oh iya kalo sampeyan berniat sembahyang kurang lebih sampeyan harus membawa 12 Hio agar cukup untuk sembahyang di semua Klenteng yang ada disini.

Selamat berwisata...atau sembahyang

Post Navi

Post a Comment

0 Comments

Close Menu