Rachel Vennya dan 'Cancel Culture' di Indonesia

Belakangan ini sedang ramai ajakan untuk Unfollow Selebgram (sebut saja Rachel Vennya) yang (diduga) kabur dari Karantina seusai jalan-jalan ke luar negeri. Apakah ini termasuk 'Cancel Culture' ?

Rachel Vennya

Apa sih Cancel Culture itu ?

Cancel Culture secara sederhana bisa disebut sebagai 'Budaya Pengucilan' modern dimana sesorang (biasanya publik figur) didorong keluar (dikucilkan) dari lingkaran sosial atau profesional, baik itu secara online, di media sosial, ataupun secara offline, secara langsung. Cancel Culture (Budaya Pengucilan) ini sebetulnya merupakan bentuk boikot atau pengucilan yang melibatkan individu (publik figur) yang dianggap telah bertindak atau berbicara dengan cara yang patut dipertanyakan atau kontroversional.
Publik Figur, entah itu seorang artis, politisi atau tokoh agama, adalah seorang yang secara figur sudah dikenal luas oleh masyarakat sehingga seringkali dijadikan panutan. Banyak orang yang kemudian mengikuti (Follow) segala tindak-tanduk, perilaku atau tindakan bahkan ucapannya. Para pengikut ini terkadang secara membabi buta memuja dan mengganggap seluruh tindakan dan gerak-gerik atau bahkan kehidupan keluarganya menjadi panutan, terlepas tindakannya itu salah atau benar. Walaupun tidak semua Followernya akan seperti itu. Banyak juga follower yang kemudian berubah menjadi Hater saat sang publik figur tersandung masalah....sebenarnya sih masalahnya juga bisa berasal dari si Publik Figur itu sendiri.

Para Hater ini yang kemudian akan jadi bertambah lalu menyerukan kepada khalayak untuk memboikot akun media sosial si Publik Figur. Pemboikotan ini yang akhirnya bisa berimbas pada profesionalitas si Publik Figur karena dia bisa kehilangan job atau pekerjaan atau mungkin kesempatan untuk mendapat penghasilan.

Banyaknya orang yang kemudian tidak setuju dengan apa yang si Publik figur lakukan di masa kemarin terkadang membuat lebih banyak orang yang kemudian 'ngulik' dan mencari tahu cerita-cerita masa lalu si Publik figur. Apalagi kalau si Publik Figur ini secara sadar atau tidak cukup aktif menggunggah (memamerkan) kehidupan pribadinya di media sosial.
Misalnya pada kejadian mbak RV yang kabur saat harus melakukan karantina sepulang perjalanannya dari Los Angeles. Awalnya orang hanya protes dan mempertanyakan entang privilage yang dia dapatkan. 'Koq boleh gak dikarantina setelah dari luar negeri'. Setelah ada yang 'ngulik' kehidupan masa lalunya ternyata dia tidak baru kemarin melakukan hal itu, dia ternyata penah skip keharusan Karantina saat dulu setelah dia pulang dari jalan-jalan ke Dubai.
Makin ramailah orang-orang yang mempertanyakan. Dan ujung-ujungnya kemarin akhirnya dilakukan pengusutan petugas karantina yang bertugas saat dia di Wisma Atlet.


Nah si mbak RV ini bukannya tidak tahu apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan. Saat semua orang begitu sibuk membagikan tautan permasalahannya dari satu akun ke akun lainnya, si mbak ini juga lalu sibuk membuat klarifikasi. Dan salahnya lagi klarifikasinya kontradiksi dengan fakta yang terjadi, kalau sudah begini meminta maaf secara terbukapun kemudian akan menjadi sebuah kesalahan.

Cancel Culture sebuah budaya ?

Di Amerika, Cancel Culture ini baru berkembang tahun 2017, yang populer dengan hestek gerakan #MeToo. Dalam konteks gerakan ini, istilah 'canceled' bermakna menghentikan dukungan kepada orang yang berkomentar tidak pantas atau melakukan sesuatu yang tidak bisa diterima, dengan cara memboikot karya mereka, kalau si Publik figur ini punya karya ya. Seperti misalnya seorang produser film Hollywood yang terkena Cancel Culture akibat masalah pelecehan sexual yang pernah dilakukannya.

Sedikit berbeda dengan di Amerika, di Indonesia Operasi Cancel culture ini seringkali dilakukan dengan cara memotret, mempertontonkan, melabel bahkan mempermalukan Publik Figur tersebut di ruang publik, melalui teknologi media sosial.

Awalnya, Cancel Culture tampak sebagai fenomena lazim di media sosial dan tidak membawa konsekuensi bagi pihak yang di-cancel. Dari sini kemudian berkembang pendapat bahwa cancelling ini merupakan bentuk pengebirian sifat liberal atau gambaran anti kebebasan. Karena seringkali usaha Cancel Culture ini lalu digunakan mengarah pada pembungkaman pendapat orang yang tidak sejalan dengan pemikiran masyarakat umum.

Implikasi Cancel Culture

Dilihat dari sisi positif dan negatifnya, tidak semua hal yang terkena Cancel Culture ini bisa dibilang positif,dan tidak semuanya juga jadi negatif. Karena kembali lagi seringkali tidak semua hal bisa di generalisir efeknya.

Kalo pada kasus mbak RV, menurut saya, Cancel Culture sudah selayaknya dia dapatkan. Kenapa ? Karena apa yang dia lakukan kemudian menodai penegakan hukum dan aturan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Dan mungkin memang ada oknum-oknum yang membantu yang mencari keuntungan sendiri dari situasi yang terjadi. Apalagi kalau memang benar bahwa mbak RV sudah kedua kalinya melakukan hal yang sama, kabur dari aturan Karantina. Sudah begitu, alasan yang digunakan (yang di published) adalah karena punya anak kecil yang tidak bisa ditinggal, padahal pas dia keluar negeri kan sudah pergi meninggalkan anaknya (yang masih kecil). Belum lagi kemudian terungkap bahwa setelah kabur dari Karantina, dia malah kemudian berpesta dan jalan-jalan lagi, bukan yang diam di rumah saja ngurus atau ketemu anaknya yang masih kecil ini.

Jadi secara sosial masyarakat apa yang dilakukan si mbak RV ini bisa menjadi justifikasi bahwa Karantina itu tidak wajib...bisa di skip...bisa dihindari, sehingga akhirnya banyak Followernya yang bisa jadi menirukan tindak tanduk yang sudah dicontohkannya.

Pada akhirnya, Cancel Culture selalu memiliki dua sisi. Di satu sisi Cancel Culture bisa menjadi corong untuk para korban ketidakadilan untuk bersuara bersama-sama, secara kolektif demi tercapainya keadilan. Di sisi lain, Cancel Culture menjadi wujud ekspresi yang reaktif yang seringkali membuat orang merasa pantas menjadi polisi moral yang boleh menghakimi atau 'melempari orang (yang dianggap salah) dengan batu' namun pada akhirnya tidak merubah apapun. Yang ada korban Culture Cancel-nya yang berdarah-darah dan mati begitu saja.
Padahal masalah baik buruk, hitam putih merupakan konsep dikotomi yang rapuh, karena nilai moral itu adalah sesuatu yang dinamis sehingga orang untuk berperilaku dan melakukan sesuatu akan sangat kompleks untuk dilabeli baik atau buruk

Secara efek mungkin bisa jadi yang terjadi adalah semacam budaya Suryak Siu, di Bali. Suryak Siu artinya suara massal terhadap suatu hal yang bisa berarti persetujuan atau penolakan terhadap sesuatu yang pada mulanya dimulai oleh seseorang atau beberapa orang yang bkemudian menjadi persetujuan massal. Budaya ini biasanya didasarkan atas gerakan emosional tanpa pertimbangan yang matang. Seperti misalnya saat seseorang berteriak 'maling' pada seseorang yang membuat satu desa mengejar, menangkap lalu mengeksekusi si maling ini, terlepas benar atau tidaknya teriakan awal itu


Jadi kembali lagi, bagaimana dengan si mbak RV ?
Menurut saya sih, mbak RV harus mau terima konsekuensi dan di proses sesuai hukum yang berlaku. Kalau memang harus di penjara pada akhirnya ya harus dipenjara...gak ada sogok menyogok lagi. Bagaimanapun juga orang yang udah dalam posisi popularitas tinggi...udah jadi Publik Figur apalagi punya follower banyak, gak bisa ngomong atau bertindak seenak jidatnya sendiri. Banyak yang melihat, banyak yang mengkritisi. Kalau dia mau ngomong dan bertindak seenak-enaknya ya harus mau terima resiko di belakang tindakannya itu.


Post Navi

Post a Comment

0 Comments

Close Menu