(Bukan) Surat Terbuka, Cerita Perjalanan Dari Seorang Buruh Yang Sudah Jadi Buruh Sejak Jaman Dahulu Kala

Saya sebenarnya sedang tidak ingin menulis dan membahas tentang Omnimbus Law yang lagi nge-hits itu. 
Tapi setelah saya buka-buka kenangan di Facebook saya, koq kejadian rame-rame ini seperti dejavu. Perulangan dari masa ke masa tentang buruh yang selalu ngributin soal gaji UMK, PHK dan libur (cuti) buruh, Outsourching, Kontrak dan cerita-cerita nestapa yang berusaha membangkitkan simpati para netizen yang maha benar.

Daripada saya ikut-ikut beropini tentang hukum yang baca pasal per pasalnya aja saya sudah males (ada 900'an pasal dan halaman), saya akan cerita sedikit saja tentang perjalanan saya yang sudah menjadi buruh jadi jaman dahulu kala saja ya.... 

Jadi begini ceritanya.... 

Saya jadi buruh dari tahun 1994, dari saya lulus STM. Waktu itu pas interview dan ditanya berapa gaji yang diminta, karena saya sadar diri cuma lulus STM dan diajarinnya pas interview baiknya jawab 'saya ikut kebijakan perusahaan saja', maka saya ya jawab begitu. Diterimalah saya bekerja sebagai operator mesin workshop (bubut, miling) di sebuah pabrik pembuat produk dari karet di Bandung. 
Berapa gajinya waktu itu ? Rp 150.000 per bulan man.... 
Bisa hidup?  
Bisalah.... Hidup layak....bisa bayar kost, makan 3x sehari, rokok, jajan, ngopi bahkan bisa shopping kaos dan baju keren di Cihampelas tiap sabtu habis gajian. Oh iya saat itu saya gajian tiap sabtu seminggu sekali (walau kesepakatan awal hitungan gajinya bulanan)....tapi ya gak pa palah wong kalo dihitung-hitung gaji saya setiap sabtu itu dapat paling sedikit Rp 38ribuan, jadi secara total sebulan tetap Rp 150.000,- hitungannya.

Pada tahun 1994 itu proses diangkat jadi karyawan tetap di pabrik itu gampang. Cuma 3 bulan masa percobaan trus bulan ke 4 langsung diangkat karyawan tetap. Gak pakai ribet teken-teken kontrak lagi, cuma sekali tanda tangan SK pengangkatan setelah 3 bulan masa percobaan.
Di pabrik karet itu saya cuma bertahan 1 tahun.... Gak betah....karena kebagian kerja shift malam terus-terusan gak pernah gantian dapet shift pagi. Akhirnya saya memutuskan resign (mengundurkan diri) tahun 1995. Karena saya keluar mengundurkan diri, ya dapetnya cuma gaji terakhir aja.... 
Masih untung itu dikasih gaji terakhir jadi bisa buat modal luntang lantung backpacker'an nyari kerjaan di Jakarta.

Ada 3 bulan saya luntang-lantung di Jakarta pindah-pindah nebeng dari satu kost ke kost-an teman sekolah yang lain. Cari kerja itu dari dulu udah susah, Pabrik memang banyak tapi saingan juga banyak. Dari titip lamaran ke teman sampai kirim-kirim lamaran via pos gak ada yang berhasil...paling pol itu sampai di tahap interview dengan user terus gagal....entah faktor gagalnya dimana, padahal test tertulis dengan HRD udah OK waktu itu.

Akhir tahun 1995 saya memutuskan pulang kampung. 
Beruntungnya tahun 1996 tiba-tiba saya dapat panggilan kerja di sebuah pabrik keramik di Cikarang. Saya gak ingat kapan saya kirim lamaran kerjanya....tau-tau di panggil trus interview dg HRD dan awal bulan bisa langsung kerja. Pertanyaan krusial pas interview sama : 'Berapa gaji yang diminta?' dan saya jawabnya sama juga 'Terserah dg kebijakan perusahaan saja' dan gaji pertama saya di Cikarang pada saat itu Rp 157.000,-
Bisa hidup dengan gaji segitu di Bekasi ? 
Bisa....saya bisa bayar kost, bisa makan 2x sehari (kadang saya keluar uang untuk makan di kostan cuma sekali) karena bisa makan kenyang di kantin pabrik, bisa ngopi, rokok, jajan dan shopping di Metmall, dulu mall satu-satunya di Bekasi.
Prosedur pengangkatan karyawan masih sama, masa percobaan 3 bulan terus langsung karyawan tetap. Jam kerja, standar dari jam 07.00 sampai jam 15.00 (7 jam kerja 1jam istirahat), 6 hari kerja (sabtu jam 07.00 sampai jam 13.00), pokoknya total 40 jam kerja seminggu. Hak Cuti 12 hari per tahun, pulang dan berangkat kerja ada fasilitas bus jemputan....saya kira sampai disini kurang lebih masih sama dg isi Omnimbus Law yg lagi hits dari kemarin. 

Tahun 1998, terjadi kerusuhan....demo dimana-mana....bakar-bakar rasialis dan anarkis. Indonesia krisis....dan banyak gelombang PHK di banyak pabrik dan tempat usaha. Beruntungnya saya....saya kebagian pengalaman mengalami PHK.
Awalnya dari Mei 1998 saya, dirumahkan 6 bulan sambil menunggu proses mediasi ketenagakerjaan di Depnaker waktu itu. Alasan saya di PHK waktu itu adalah melawan perintah atasan dg meninggalkan pekerjaan (ikut jadi penggembira demo reformasi, dulu belum ada trend demo buruh), oleh sebab itu menurut perwakilan serikat pekerja yang mendampingi saya di proses mediasi katanya "ambil saja mas tawaran pesangon 3 bulan gajinya, daripada kalo nanti dilanjut di sidang perselisihan perburuhan sampeyan kalah....malah yang ada bisa gak dapet apa-apa....daripada capek sidang ngadepin pengacara perusahaan".
Saya pikir-pikir iya juga ya....akhirnya saya tandatangan surat PHK saya dan dapat pesangon 3 bulan gaji. Gaji terakhir saya pas mau di PHK Rp 250.000,- jadi pesangon saya tahun 1998 itu Rp 750.000,-

Lagi-lagi gak jauh beda dengan isi Omnimbus Law yang lagi anget diributin buruh seantero negri ini. Kerja hampir 3 tahun dapat pesangon 3 bulan gaji.

Dari 1999 saya tidak mau lagi kerja formal karena males ribut lagi dengan orang yang (merasa) jadi atasan saya, padahal ya masih sama-sama buruh pekerja juga statusnya. Dengan modal uang pesangon (yang cuma Rp 750.000,-) saya bikin aquarium besar terus coba-coba ternak ikan hias, sambil bantu-bantu teman yang buka usaha bengkel teralis. 

Tahun 2004, setelah saya berhasil upgrade dari lulusan STM jadi punya gelar ST, saya coba-coba lagi nglamar kerja formal...daripada ijasah saya gak terpakai...eh ternyata di terima di perusahaan manufaktur metal stamping, vendor pabrikan produk (mobil) otomotif brand Jepang. Interview-nya masih ditanya pertanyaan yang sama dan saya jawab dengan jawaban yang sama. Hasilnya, saya digaji Rp 900.000,- dg posisi sebagai Staff Engineering.
Seingat saya pada tahun 2004 itu belum ada yang namanya standar gaji UMR (apalagi UMK dan UMP), makanya pas waktu itu besaran gaji ya tergantung pinter-pinternya kita negosiasi pas interview, dan saya ternyata tidak cukup pintar dalam bernegosiasi gaji. 
Eh sebentar, tahun 2003 itu sepertinya sudah ada UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 yang fenomenal itu. Tapi ya begitulah, untuk implementasinya belum semua perusahaan bisa menerapkan sepenuhnya, karena butuh waktu untuk merubah sistem dan menyesuaikan aturan perusahaan agar selaras dg UU tersebut.
Secara normatif ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, sejauh pengetahuan saya, perusahaan tempat saya bekerja ini, dulu selalu berusaha tunduk dan mengacu pada UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003. Mungkin karena salah satu syarat untuk menjadi vendor perusahaan otomotif terbesar di Indonesia, mau tidak mau segala macam standar sistem manajerial dan administrasi harus dibenahi sesuai dengan standar ISO, termasuk standar HRD, aturan perusahaan dan standar operasionalnya.

Lalu apa kemudian tidak ada permasalahan dengan para buruh pekerjanya ? Yah namanya manusia, dan karena buruh pekerja juga manusia yang kemudian akan selalu membandingkan tempat kerjanya dengan pabrik yang lain, makanya ketidakpuasan dan permasalahan perburuhan itu akan selalu ada. Padahal dari sisi normatif aturan Ketenagakerjaan bisa dibilang hampir tidak ada ketentuan UU yang dilanggar, tetap saja ketidakpuasan pekerja terhadap perusahaan itu akan selalu ada.

Oh iya, pada saat itu Sistem Tenaga kerja Outsourcing juga sudah mulai berjalan. Hampir sebagian besar pekerja yang baru masuk di tahun 2005 adalah tenaga kerja Outsourcing atau Tenaga Kerja 'Yayasan' istilahnya. Tenaga Kerja Outsourcing ini adalah merupakan tenaga kerja yang disiapkan, disediakan dan digaji oleh 'Yayasan' atau Biro Penyedia Tenaga Kerja. Jadi mungkin gampangnya tenaga/pekerja Sub Kontraktor. Yayasan atau Biro Penyedia Tenaga Kerja ini cuma punya pekerja tapi tidak punya pekerjaannya. 
Secara sepintas kondisi ini adalah merupakan win-win solution untuk perusahaan. Jadi perusahaan tidak perlu membina, mendidik dan menyeleksi calon pekerjanya, tinggal buat permintaan ke Yayasan bahwa perusahaan butuh sekian puluh pekerja, buat kontrak kerja dan perusahaan membayar. 

Sepengetahuan saya, Perusahaan membayar ke Yayasannya tetap hitungan per orang perbulan dengan standar gaji setara UMR. Seragam identitas, pembinaan, dan tunjangan kesejahteraan merupakan tanggung jawab pihak Yayasan.
Permasalahannya adalah, seringkali gaji yang kemudian diterima oleh pekerja Yayasan ini kebanyakan disunat oleh pihak Yayasan dengan dalih sebagai biaya operasionalnya. Makanya gaji pekerja Outsourcing itu akan selalu berada dibawah standar Upah Minimun yang ditetapkan pemerintah. 

Ada juga pekerja Outsourcing yang terjebak harus membayar sejumlah uang administrasi di muka ke Yayasan agar bisa segera disalurkan ke perusahaan. Kalo saya istilahkan, para pengurus Yayasan ini seolah seperti cari makan dari sekian persen keringat orang lain (pekerjanya).
Makanya kemudian jadi selalu ribut setiap tahun tentang masalah Outsourcing ini. Rumor yang beredar sih, banyak Yayasan yang didirikan atau dimiliki oleh orang-orang HRD perusahaan itu sendiri atau bisa jadi juga orang-orang dari partai politik atau malah pengurus serikat-nya sendiri. Ini hanya rumor yang saya dengar lho ya....faktanya sih embuh saya gak tahu...

Terus kenapa banyak orang yg masih mau jadi tenaga kerja outsourcing? Ya karena cari kerja sendiri itu susah minta ampun. Pernah dulu setelah saya di PHK (th 1999)  mengalami fase cari kerja bawa-bawa map berisi lamaran kerja, jalan kaki menyusuri sepanjang jalan kawasan industri....setiap ketemu security pabrik nanya lowongan....dan jawabannya 'gak ada mas....kalopun ada kita biasanya lewat Disnaker infonya'.
Beda kalo ikut Yayasan, pasti sampeyan akan coba disalurkan ke pabrik yang membutuhkan dengan segera....

Nah kalo di Omnimbus Law katanya ada salah satu pasal menyebutkan bahwa pekerja Outsourcing itu tanpa batas waktu (bukan pegawai kontrak/PKWT) ya penalaran saya itu karena kontrak kerja yang ada dan dibuat ya antara perusahaan dg Yayasan penyedianya. 
Dan gak mungkin kan kalo perusahaan kemudian mengangkat pekerja Outsourcing jadi karyawan tetap dari seorang pekerja yang bukan rekrutannya langsung, bukan Pekerja Kontrak Waktu Tertentu (PKWT-nya). Gak mungkin kan PT. Toyota Astra mengangkat karyawan yg statusnya adalah pekerja dari Yayasan Maju Mundur yang di Outsourcing jadi helper di plan perakitannya. 
Makanya pekerja Outsourcing ya seumur-umur adalah merupakan pekerja Yayasan, selama Yayasan belum memecatnya atau pekerja itu tidak keluar dari Yayasan yg menaunginya, bukan berstatus karyawan pabrik dimana dia bekerja. 

Dari pengalaman perjalanan saya jadi buruh, saya cuma bisa mengkira-kira Omnimbus Law atau UU Cipta Kerja ini, terutama yang di kluster Ketenagakerjaan, ya masih belum merubah substansi dari UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003.
Tidak jauh berbeda, walaupun memang tidak semua pasalnya disamakan atau diperbaharui. 

Terus kenapa buruh menggelar aksi demo besar-besaran menentang disahkannya UU Cipta Kerja ini kalo isinya gak jauh berubah dari UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 ?

Kesimpulannya....dari jaman saya pertama jadi buruh tahun 1994 sampai saat ini, ribut-ribut soal UU Ketenagakerjaan ya cuma muter-muter disitu aja masalahnya.
Gak pernah bisa Solutip
 
Ya entahlah....entah apa yang merasukimu...

Simpel aja sih menurut saya ya kalo gak mau digaji segitu atau diatur dengan peraturan perusahaan yang begitu....resign saja....mengundurkan diri, berhenti jadi buruh dan mulai jadi pengusaha. 

Kan susah jadi pengusaha....ntar di demo buruhnya.... 
Ya rasakno dulu baru komentar mana yang lebih enak....jadi buruh atau jadi pengusaha

Jadi...mending tinggal ngopi sajalah.... 


Post Navi

Post a Comment

0 Comments

Close Menu