Membangun Kualitas Dari Dalam Proses, Jangan Meneruskan Cacat (Defect) ke Proses Berikutnya

Berbicara mengenai produk, tentunya tidak lepas dari kualitas Produk yang kemudian akan sampeyan jual dan pasarkan. Nah, bagaimana caranya agar 'setiap' produk yang sampeyan lempar ke pasaran sudah memenuhi standar kualitas yang (minimal) sampeyan inginkan ?

Jika Proses Kerjanya Benar, Kualitas Hasilnya Baik lalu Konsumen merasa Puas tentunya Profit (keuntungan) akan meningkat dengan sendirinya.
Pada konsep proses produksi umumnya, disisi Produsen (Supplier/Distributor/Reseller) seringkali takut ada kesalahan-kesalahan yang tak terlihat (berusaha disembunyikan) yang kemudian ditemukan dan diketahui konsumen. Akibatnya apa, konsumen akan kecewa dan tidak akan re-order lagi setelah mereka menemukan kesalahan itu.
Untuk itu, Jangan pernah menutupi kesalahan suatu produk yang sampeyan jual. Akan lebih baik jika kemudian konsumen diinformasikan bahwa ternyata ada kesalahan kualitas dari produk yang terjual. Resikonya, kita harus melakukan retur, mengganti produk yang cacat atau bahkan kemudian mengembalikan uang yang sudah ditransfer.
Nah, sebelum hal itu terjadi...bukankah lebih baik jika kemudian kita memperkuat sistem kontrol kualitas kita sebelum produknya kita kirim....


Apa itu Kontrol Kualitas ?

Didalam proses produksi sebuah pabrik yang besar dengan tenaga kerja yang banyak dan bugjet produksi yang melimpah (tentunya sepadan dengan harga produk, karena Harga Pokok Produk bergantung pada hitungan Cost, dan didalamnya ada Cost bayar pegawai) seringkali menerapkan sistem Kontrol Kualitas sbb:

  • Kontrol Kualitas yang dikendalikan bagian Quality Control. Di model Kontrol Kualitas ini, banyak proses inspeksi (pemeriksaan) yang dilakukan oleh personil khusus (Departemen Khusus) yang berlapis untuk memeriksa produk dari mulai penerimaan bahan dari supplier sampai produk kemudian terkirim dan terjual. Kelemahannya adalah butuh tenaga kerja yang banyak untuk bagian Kontrol Kualitas dan berhasil atau tidaknya proses pemeriksaan produk sangat bergantung pada kemampuan orang (Departemen) yang bertanggung jawab untuk memeriksa dan mendeteksi ketidak sesuaian sebuah produk.
  • Kualitas yang dipastikan melalui Inspeksi. Pada model ini pencegahan cacat produk yang lolos dilakukan pada penerimaan bahan dan proses outgoing (produk keluar) yang dilakukan oleh bagian (Departemen) lain diluar Produksi. Kelemahannya adalah kesalahan produk akan ditemukan di akhir proses, sehingga bila terjadi ketidak sesuaian kualitas produk bisa jadi melibatkan jumlah produk yang tidak sedikit sehingga kerugian untuk melakukan proses ulang untuk memperbaiki kesalahan produk akan menimbulkan Cost yang banyak juga.
Kedua konsep Manajemen Kontrol Kualitas diatas banyak diterapkan pada pabrik atau industri yang besar dengan lot produksi yang banyak (mass pro). Disisi kemanusiaan dan ketenaga kerjaan tentu baik, karena dengan demikian perusahaan butuh tenaga kerja yang cukup banyak sebagai Inspektor bagian Quality Control atau bagian Quality Assurance.

Konsep Built In Quality

Namun bagaimana dengan industri skala kecil dan menengah dengan alokasi bugjet terbatas untuk gaji pegawainya ?
Sebuah konsep yang mampu merasionalisasi tenaga kerja, terutama di bagian Quality Control, adalah Konsep Manajemen Kontrol Kualitas "Built In Quality". Built In Quality adalah membangun Kualitas Produk dari dalam proses-nya itu sendiri, atau dengan kata lain BIQ adalah konsep mencegah terjadinya cacat produk yang dilakukan oleh Operator langsung didalam dan disaat proses. Didalam konsep ini, Operator bertindak pula sebagai Inspektor Kualitas dalam satu rangkaian proses produksi.

Mungkin ini bisa dikategorikan sebagai Smart Sistem. Dimana operator yang mengeksekusi pekerjaannya (entah itu pekerjaan input data ataupun pekerjaan produksi manufaktur) mengerti dan paham akan kualitas output yang mereka hasilkan.

Sistem ini bukan tanpa kelemahan karena dalam Sistem BIQ operator dituntut untuk memiliki kemampuan sebagai pembuat (penginput) sekaligus inspektor, dengan demikian jika operatornya kurang mampu bertindak sebagai eksekutor dan inspektor ya sistem ini gak akan bisa jalan. Disamping itu juga diperlukan kejujuran dan displin yang tinggi, karena tidak ada manusia yang sempurna. Jadi jika operator melakukan kesalahan dengan meloloskan produk defect ke proses berikutnya yang kemudian tidak terdeteksi lalu berlanjut sampai final proses, seharusnya ya si operator yang melakukan kesalahan mau mengakui kesalahannya karena bagaimanapun juga dalam sistem BIQ ini biasanya dijalankan juga metode mampu telusur. Metode mampu telusur adalah metode yang bisa melakukan penulusuran balik kapan dan siapa yang mestinya bertanggungjawab membuat dan meloloskan defect hingga produk akhirnya Not Good.

Ada beberapa Rule atau Control Point yang harus diperhatikan agar Sistem ini bisa berjalan dengan semestinya.
Yang pertama adalah Proses kerja yang dilakukan harus benar sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) dan Intruksi Kerja.
Yang kedua, kemampuan operator juga harus selalu di upgrade sehingga dia bisa bisa bekerja multifungsi untuk membuat produk, mengenali dan mendeteksi kemungkinan kesalahan (defect) yang (mungkin bisa) terjadi, entah karena faktor mesin atau faktor manusianya. Ada 4 Faktor yang biasanya digunakan untuk analisa masalah, yang dikenal dengan 4 M (Man, Machine, Material dan Methode).
Yang ketiga dan paling penting adalah membuat dan mengembangkan metode Pokayoke atau alat anti salah (nanti mungkin saya buat artikel tentang Pokayoke ini). Metode (alat) ini dimaksudkan untuk menghentikan proses (yang sedang berlangsung) saat ada kemungkinan terdeteksinya suatu kesalahan atau defect. Ketika proses (yang berjalan secara otomatis) berhenti (atau dihentikan oleh alat tersebut), disitu nanti akan diperlukan pemeriksaan secara manual untuk memeriksa ulang hasil proses yang terindikasi defect serta menelusuri akar permasalahannya.

Masalah itu pasti akan ada dan selalu terjadi dalam proses apapun. Kuncinya adalah Jangan Pernah reaktif lalu kemudian menyalahkan orang lain. Karena itu berarti sampeyan tidak mau berbuat sesuatu untuk membenahi apa yang salah (karena merasa bukan tanggung jawabnya). Dan berarti pula sampeyan tidak mampu memotivasi diri sendiri serta tidak mau berpikir kreatif untuk menemukan solusi demi mencegah kesalahan yang sama terulang kembali.

Ayolah jangan cuma tunjuk sana sini....introspeksi dan lakukan pembenahan terhadap kesalahan (defect) yang (mungkin sudah) ditemukan pelanggan

Jangan reaktif...tapi Proaktif-lah.... 
Post Navi

Post a Comment

0 Comments

Close Menu