Garuda Wisnu Kencana | Cerita Tentang Kegigihan Perjuangan Anak Bagi Sang Ibu

Garuda Wisnu Kencana

Awalnya sebelum saya bisa mampir berkunjung ke Garuda Wisnu Kencana, saya kira patung (monumen) ini terinspirasi dari penggalan epik Ramayana. Di epik kisah Ramayana ada satu fragmen yang menceritakan kegigihan seekor burung garuda yang bernama Jatayu, yang mencoba membebaskan Sinta saat diculik Rahwana. Upaya Jatayu gagal, bahkan kemudian sang Garuda Jatayu ini akhirnya tewas dikalahkan oleh Rahwana.

Ketika tiba di komplek Garuda Wisnu Kencana Cultural Park, di halaman depan gerbang kita akan disambut dengan Mural yang melukiskan cerita Ramayana serta pertarungan Jatayu dan Rahwana. Lalu di tengah-tengahnya ada patung-patung tokoh epik Ramayana yang menghadap air mancur. Dari situ makin menegaskan konsep cerita tentang 'Sang Garuda' seperti yang saya pikirkan.

Mural Garuda Wisnu Kencana
Mural di Gerbang GWK

Eh...ternyata saya salah.... ☺☺
Nah, baru setelah masuk kedalam patung Garuda Wisnu Kencana-nya saya baru tahu kalau cerita 'Sang Garuda' yang dimaksud adalah Legenda Mitologi Garuda sebelum cerita Ramayana. Kurang lebih begini ceritanya....

Mitologi Garuda Wisnu Kencana

Alkisah di suatu tempat di Bali, tersebutlah seorang guru nan bijaksana bernama Resi Kashyapa.  Resi ini memiliki istri berjumlah delapan (ada juga yang bilang 14 istri...entah cerita mana yang benar.. ☺). Anak keturunannya Anak keturunannya lahir sebagai dewa, manusia, raksasa dan hewan. Dua istri sang Resi, Dewi Winata dan Dewi Kadru, selalu bersaing hingga suatu saat Dewi Kadru diberikan seribu butir telur, yang ketika menetas semua menjadi ular dan naga. Sedang pada Dewi Winata diberikan dua telur, dan satu telur sengaja dipecah agar segera keluar seorang putera, yang ternyata menjadi burung belum sempurna, karena tidak memiliki kaki dan paha (anuruh) sehingga dinamai Aruna yang pada cerita selanjutnya, Aruna kemudian diangkat menjadi kusir Dewa Surya. Sedangkan telur yang satunya lagi yang belum menetas dibiarkan sampai menetas sempurna.

Pada suatu ketika Dewi Winata terlibat pertaruhan dengan Dewi Kadru, menebak warna ekor kuda Uchaiswara yang akan keluar dari samudera dan belum ada yang pernah melihat warnanya. Dewi Winata menebak ekor Uchaiswara berwarna putih sedang Dewi Kadru menebak warna hitam. Pertaruhannya, siapa yang gagal menebak warna ekor kuda tersebut harus menjadi budak si pemenang taruhan seumur hidup. Para Naga, anak-anak Dewi Kadru, tahu bahwa ekor Uchaiswara sebenarnya berwarna putih, dan mereka-pun segera memberitahukan pada ibunya mengenai hal tersebut. Karena merasa akan kalah, Dewi Kadru lalu berbuat curang dengan memerintahkan para Naga untuk menyemburkan api ke Uchaiswara. Pada saat Uchaiswara terbang melintas di hadapan Dewi Kadru dan Dewi Winata, tampaklah bahwa warna ekornya kehitaman, bukan putih sebagaimana aslinya. Dan Dewi Winata-pun harus mengakui kekalahannya (akibat kelicikan Dewi Kadru) sehingga dijadikan budak dan pengasuh para Naga, anak-anak Dewi Kadru seumur hidupnya.

Satu telur tersisa dari Dewi Winata akhirnya menetas menjadi burung berwarna keemasan dengan wajah putih dan sayap merah. Paruh dan sayapnya mirip elang dan tubuhnya mirip manusia. Ukurannya sangat besar sehingga bisa menghalangi matahari. Dan diberi nama Garuda. Garuda paham bahwa dirinya harus berterima kasih kepada sang ibunda, yang mengandung dan membuat dirinya lahir ke dunia. Garuda kemudian mengembara, mencari ibunya ke seluruh pelosok dunia. Lalu Garuda mengetahui bahwa sang ibu menjadi budak perawat ular dan naga di samudera. Tidak hanya itu, Garuda juga akhirnya mengetahui bahwa sang ibunda menjadi budak karena telah diperdaya sehingga marah dan bertarung habis-habisan dengan para naga. Pertarungan Garuda dan Naga berlangsung berimbang, namun mengakibatkan kerusakan dimana-mana. Melihat hal tersebut akhirnya Garuda menawarkan perdamaian dan bertanya pada para Naga, apa syaratnya agar ibunya, Dewi Winata bisa dilepaskan dari perbudakan. Para ular dan Naga meminta 'tirta amerta' (air keabadian yang membuat siapa yang meminumnya akan hidup abadi selamanya.Garuda menyetujui lalu terbang ke kahyangan.

Di kahyangan, Garuda menemui Dewa Wisnu, dewa pemilik tirta amerta. Untuk bisa mengambil tirta amerta, Garuda harus bertarung dulu dengan 2 naga penjaga tirta amerta, dan garuda bertarung dengan sungguh-sungguh sehingga berhasil mengalahkannya. Melihat kesungguhan Garuda untuk mendapatkan tirta amerta, Dewa Wisnu kemudian mempersilahkan Garuda untuk meminum tirta amerta, namun Garuda menolaknya. Dewa Wisnu lalu memberikan tirta amerta yang ditempatkan pada wadah kamandalu (tempat air seperti teko/tempayan kecil) yang bertalikan ilalang. Dan berpesan setelah Garuda menyelesaikan misinya membebaskan ibunya, Garuda harus kembali lagi pada Dewa Wisnu, karena Dewa Wisnu berkenan menjadikan Garuda sebagai tunggangannya.

Garuda membawa tirta amerta untuk diberikan pada para naga. Ditengah jalan, Dewa Indra melihat Garuda membawa tirta amerta sehingga menduga Garuda telah mencuri tirta amerta. Garuda menolak memberikan tirta amerta pada Dewa Indra sebelum ibunya dibebaskan, lalu terjadilah perkelahian Garuda dan Dewa Indra. Pada satu kesempatan Garuda berhasil melukai Dewa Indra dan membuat senjata kilat (bajra) Dewa Indra rusak, sehingga Garuda bisa meloloskan diri untuk menemui para naga dan memberikan tirta amerta serta membebaskan ibunya.

Melihat Garuda membawa tirta amerta, para naga lalu membebaskan Dewi Winata. Tanpa diduga muncul Dewa Indra yang mengejar Garuda untuk mengambil tirta amerta. Tirta Amerta berhasil direbut Dewa Indra dari para ular dan naga sebelum mereka sempat meminumnya. Namun ada percikan tirta amerta yang mengenai tali ilalang yang terlepas dari kamandalu, dan naga yang tidak mau kehilangan kesempatan hidup abadi akhirnya terpaksa berebut dengan sesamanya menjilat tali ilalang yang tajam hingga lidahnya terbelah 2 diujungnya. Ular dan Naga tidak bisa hidup abadi, mereka bisa meremajakan diri dengan cara mengganti kulitnya, namun mereka tetap akan mati.

Setelah menyelesaikan misinya membebaskan ibunya, Garuda kemudian pamit pada ibunya untuk kembali menemui Dewa Wisnu. Garuda menepati janjinya untuk kembali pada Dewa Wisnu dan dijadikan tunggangan (kendaraan) Dewa Wisnu. Darma Bakti anak pada ibundanya sudah ditunaikan yang kemudian dilanjutkan dengan menyerahkan hidupnya kepada Dewa seutuhnya untuk dijadikan alat sang Dewa memelihara dunia.

Pesan Moralnya adalah Senjata bisa dibeli, tapi keberanian dan tekad tak akan bisa terbeli. Bintang jasa dan pujian bisa direkayasa, tapi sikap pejuang tangguh yang pantang menyerah, tanpa menyalahkan keadaan dan orang lain, akan muncul dengan sendirinya dari dalam diri seseorang. Seseorang boleh saja melakukan pencitraan dengan membuat foto-foto keren dengan status yang terlihat baik dan bisa kerja di media sosial untuk menaikkan popularitas dirinya, tapi pekerja yang sesungguhnya akan lebih banyak memperlihatkan karya yang nyata daripada hanya pamer kata-kata semata.
Pengorbanan adalah mahkota para satria. Tidak perlu dikaitkan pengorbanan dengan agama, dengan surga dan para bidadari jelita...karena itu semua membuat pengorbanan akan kehilangan makna dan niatnya. Garuda berjuang demi ibunya dengan menolak tawaran hidup abadi saat diminta minum tirta amerta, karena yang diinginkannya 'hanya' semata-mata kebebasan ibundanya dari perbudakan ular dan naga. Pengorbanan itu sendiri adalah kemenangan, karena dengan berkorban berarti ia telah berhasil menguasai nafsu dan egonya untuk selalu menang sendirian.

All We Are Can Learn to Fly....seperti Garuda


Lokasi GWK Cultural Park



Comic Garuda Wisnu Kencana

Post Navi

Post a Comment

0 Comments

Close Menu